Selasa, 28 Juni 2022

Kidung Cinta 19

 Pekerjaan Rumahku

Oleh:  Venice Rahayu

https://www.istockphoto.com/id/vektor/seorang-gadis-muda-duduk-di-meja-dengan-laptop-dan-merasa-sedih-atau-depresi-gm1210146052-350458107


    Aku perempuan menjelang lima puluh tahunan yang sederhana.  Anggaplah demikian.  Jadi, pengalamanku berikut ini semata-mata muncul dari kacamataku yang sederhana.  Kali ini aku akan bercerita tentang “Sulungku”.

***

    Sulungku sejak kecil sudah memperlihatkan kecerdasannya. Sebagaimana layaknya seorang ibu yang baru memiliki seorang anak, si Sulung merupakan bahan eksperimen aku dan suami dalam mendidik anak. Setiap hari aku memperkaya pengetahuanku dengan membaca buku-buku dan artikel-artikel tentang perkembangan fisik dan psikologi anak, nutrisi yang ideal, dan cara mendidik anak yang baik. Aku mengadopsi pendapat dari berbagai pakar pendidikan anak, terutama cara mendidik anak secara Islami. Pokoknya aku belajar menjadi ibu yang ideal bagi anak-anakku.  Sampai-sampai seorang rekanku berkomentar, “Haha…, repot bener… yang baru punya anak!” Aku tersenyum saja, mencoba tidak menafsirkan buruk apa yang dikatakannya.  Aku fokus untuk mengantarkan anak-anakku menjadi anak yang shalehah, cerdas, sehat, dan selamat dalam mengarungi kehidupannya ke depan.

    Alhamdulillah, sulungku mulai menampakkan perkembangan seperti yang aku harapkan.  Usia dua setengah tahun, kosakatanya sudah banyak. Setiap hari aku berkomunikasi dengannya sebagai orang dewasa, sehingga sekecil itu si Sulung sudah bisa diajak memecahkan berbagai persoalan denganku. Aku juga melibatkannya dalam diskusi jika hendak  memutuskan sesuatu. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, anakku lancar mengemukakan pendapatnya. Aku sangat bersemangat untuk tidak menyia-nyiakan waktu dalam setiap tahap tumbuh kembangnya. Aku juga mengajarinya membaca dan mengaji jauh sebelum usia sekolahnya.  

    Begitulah keseharianku bersama anakku kunikmati betul sebagai anugerah Allah SWT yang tiada terkira untuk keluarga kecilku.  Aku sangat mempercayai ayat-ayat Alquran bahwa Allah SWT menghargai usaha setiap makhluk-Nya walaupun hanya sebesar biji zarrah.

    Tiba saatnya Sulungku bersekolah. Prestasinya melebihi kawan-kawannya.  Masuk sekolah dasar, dia sudah lancar mengaji dan membaca.  Dia juga tumbuh percaya diri dan periang.  Keadaan ini berlangsung terus di setiap jenjang pendidikannya, sampai….  Ya, sampai akhirnya aku mendengarkan keluhan pertamanya yang terus terang sangat mengagetkanku.

    “Ibu, aku mau les…!”  katanya murung. “Aku merasa tertinggal banyak dari kawan-kawanku.”

    “Gak usah!”  jawabku dengan penuh percaya diri. “Kamu mungkin hanya kurang fokus belajar di sekolah.  Atau…, kamu belum bisa menyesuaikan dengan gaya mengajar gurumu. Ibu yakin, sepanjang kamu mengikuti pembelajaran dengan baik di kelas, kamu tidak memerlukan pelajaran tambahan.” lanjutku mengutip perkataan ayahku dulu.

    “Aku merasa tak mampu menyejajarkan diri dengan kawan-kawanku, Bu. Ibu tidak mengerti, betapa sulitnya menerima kenyataan ketika kawan-kawan sekelasku ada saja yang meraih nilai seratus, sementara aku….Padahal aku sudah belajar sungguh-sungguh, Bu. Masalahnya….” Sulungku tercekat. Ibu mana yang tega menyaksikan pemandangan seperti ini.

    “Bagaimana bisa ya, Nak? Apanya yang salah denganmu?”

    “Mereka les, dan aku tidak, Bu.”  sahutnya cepat. Kulihat permohonan yang dalam di manik matanya.

    Aku terdiam mencoba memahami permasalahan yang ada. Durasi belajar di sekolah sudah lebih panjang, fasilitas kelas lengkap, pelatihan guru marak, media pembelajaran bertebaran, lalu mengapa masih kurang juga.  

    “Aku perlu les, Bu.”  ucapnya lebih tegas dari semula.

    “Ya, ya….”  jawabku cepat mencoba menenangkannya. “Tapi, jam berapa pulangnya kalau kamu ambil les ya, Nak?” ungkapan kebingunganku lagi-lagi tak bisa kusembunyikan.   

    “Malam.”  lanjutnya.

    “Tuh…, jangan ah.”  sahutku memutuskan. Sebagai produk perempuan tahun 1970-an, aku sangat konservatif.  Aku masih memandang anak gadis pulang malam sebagai sesuatu yang melanggar etika ketimuran dan tidak sesuai aturan agama. Tidak ada waktu untuk keluarga, dan tidak ada waktu untuk istirahat.  Juga untuk ibadahnya yang lain. Sangat tidak lazim dan menambah beban mental.  Otakku berpikir keras untuk mendapatkan solusi terbaik.

    “Ah ya…, kan ada les online!” usulku dengan bangga. Kurasa aku sudah menemukan solusinya.

    Anakku berpikir sejenak sebelum akhirnya dengan sangat ragu-ragu dia menjawab, “Aku bahkan tidak tahu aku sedang belajar bab apa di pelajaran itu….”

    Astagfirullahaladziim…, bagaimana bisa! Aku tak mengerti masalahnya ada di mana. Banyak faktor. Biarlah itu akan menjadi peer bagiku: sebagai orang tua juga sebagai guru. 

***


Bogor, 28 Juni 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-19


4 komentar:

  1. Solusi ya coba saja untuk kita les dan bisakan no lai ataukah si sulung mau atau bagaima ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau les karena tidak paham apa yang guru ajarkan.. bahkan sedang belajar bab apa juga tidak tahu...😊 Mungkin itu gunanya guru menyampaikan tujuan pembelajaran, ya... πŸ˜ŠπŸ™πŸ»

      Hapus
  2. Untuk saat ini coba ikutin aja dl Keinginan si gadis Bun. Tapi tetap dipantau..

    BalasHapus

Kidung Cinta 31

 Cinta Kedua Oleh:  Venice Rahayu https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220216092135-37-315720/kacau-penduduk-20-negara-ini-kecanduan-smartph...