Renjana di Langit Kelam
Oleh: Venice Rahayu
Aku duduk di salah satu sudut pantai yang paling tenang, dan mulai mengenang segalanya dengan hati-hati. Aku ingin menenangkan diri dan kukira tidak ada waktu yang tepat untuk melakukan itu selain saat ini. Gulungan ombak yang saling berkejaran, mengingatkanku pada gelombang-gelombang kisah yang telah kuhabiskan bersamamu.
***
“Menikah berarti menyatukan dua keluarga.” kataku sambil menatapmu, mencari-cari apa kiranya yang akan dia pikirkan tentang ucapanku.
Kamu mengangguk dengan perlahan. Tatapanmu mengisyaratkan bahwa kamu mencoba memahaminya dengan baik.
“Itu artinya ….” aku mulai ragu. Sementara kamu menatapku lebih lekat. Serta-merta aku merasa sekujur tubuhku berkeringat. Bola-bola kristal mengaburkan pandanganku. Kamu beringsut menghampiriku, mengeluarkan sapu tangan dari celanamu. Gerakanmu tampak sangat gugup saat menyerahkannya padaku. Tanganmu gemetar.
“Kita sampai di sini saja.” Entah dari mana kekuatan itu muncul. Kini seluruh badanku gemetar sempurna.
Kamu mematung. Napasmu terhembus kuat. Aku menggigil. Aku tak tahu apakah keputusanku ini benar atau tidak.
Bukan tak beralasan aku mengambil keputusan seperti itu. Semuanya bermula dari malam itu.
Aku masih menunggumu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pukul tujuh telah lama berlalu. Sesekali kendaraan melintas di depan rumahku memecahkan keheningan yang ada.
Tiba-tiba, “Brrraaaakkk!”
Spontan aku berdiri dan setengah berlari menuju pintu. Sigap kusingkap gorden ruang tamu. Mataku berusaha menembus pekatnya malam, menerobos ke arah jalanan yang sunyi. Samar-samar kulihat sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang rumahku. Dan tak lama kemudian sesosok tubuh tinggi dengan bentuk tubuh yang sangat kukenal, muncul dari belakang mobil yang terparkir. Kepalamu menunduk dan langkahmu gontai. Sementara mobil di belakangmu bergerak cepat dan meninggalkan deru yang keras. Sesaat kamu menoleh ke belakang, terpaku, namun kemudian meneruskan langkahmu. Tak lama berselang, aku mendengar sebuah ketukan halus di pintu dan sepotong ucapan salam yang teramat kukenal.
Segera kubukakan pintu. Dan sebuah wajah yang letih dan pucat berdiri tegak di hadapanku. Bibirmu membuat senyuman yang entah mengapa membuat hatiku sakit. Teriris. Perihnya masih kurasakan sampai detik ini setiap kali aku mengenangmu.
“Kamu terlihat pucat… tanganmu lecet… ada apa ini?” Setengah panik aku memeriksa wajah dan sekujur tubuhmu dengan telilti. Memeriksa apakah ada luka di wajahmu atau tidak.
“Gak apa-apa, sudahlah. Aku lompat tadi. Hebat, bukan?” katamu setengah berkelakar dan menepis tanganku dengan lembut. Senyuman tak lepas dari wajahmu. Duduk di sofa, dan tatapanmu mewakili permintaan maafmu. Aku memberinya senyuman agar kamu merasa nyaman. Aku yakin kamu punya alasan untuk terlambat.
Detik berikutnya, aku mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Kamu pun tak hendak menyembunyikan apa pun dariku. Maka, mulailah kamu bercerita. Tentang kakak iparnya yang punya pilihan lain untukmu. Kamu bersitegang dengannya. Demi memenuhi janji, kamu melompat dari mobil yang masih melaju. Saat pulang. Malam itu, kakakmu berhasil mempertemukanmu dengan pilihannya. Untuk yang ke sekian kalinya.
Aku memaknai dalam-dalam ceritamu. Aku memejamkan mata, mencoba menarik kesimpulan dari apa yang sudah terjadi, dan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku tak ingin kamu mendapat hal buruk hanya karena mempertahankanku. Aku mengkhawatirkanmu.
Kamu terunduk lesu.
Ada getaran keras menghantam ulu hatiku yang menjalar ke seluruh bagian tubuhku dengan cepat. Mataku berat seperti menahan ribuan ton air bah yang siap membobol pertahananku. Bagaimana pun, kita sudah jauh berjalan dan saling menguatkan.
“Tetaplah berjalan lurus. Jangan menengok lagi ke belakang.” bisikku di depan pintu.
“Aku akan menunggu kabar baik esok hari.”
Kutatap punggungmu. Lunglai langkah kakimu menyusuri pekatnya malam yang menyelimuti semesta, diiringi rintik hujan dan dersik angin malam yang menggigilkan tubuhmu. Kepalamu tertunduk dalam-dalam.
Di balik gorden yang kusingkap, di balik mata yang semakin nanar, kuiringi langkah kakimu. Untuk beberapa saat, tatapanku tak beranjak dari bayangan tubuhmu yang kian menjauh.
“Semoga studimu sukses.” Ada bola kristal yang mencair di setiap sudut mataku.
***
Debur ombak membangunkan lamunanku.
Bogor, 10 Juni 2022
Tantangan Menulis Hari Pertama
Kakak udah pakar nya yah kk.. Berasa ada didalam cerita kak. Ikut tegang juga kak. Cerita nya mengalir sempurna.. Ditunggu kelanjutan nya yah kak... Penasaran kak.. ☺
BalasHapusTerima kasih adekku sayang.. Ok.. nanti dilanjut ceritanya. Tetap semangaaat💪😍
BalasHapusceritanya rapih tapi agak berat, jadi harus 2 kali baca untuk memahaminya. good, hayang jiga ibu ih ...
BalasHapus