Selasa, 21 Juni 2022

Kidung Cinta 12

 Surat dari Abad 26

Oleh:  Venice Rahayu

  https://www.merdeka.com/trending/jenis-teknologi-masa-depan-super-canggih-ketahui-dampak-penggunaannya-kln.html


Muridku menulis cerita fantasi.  Aku terkesan.  Begini ceritanya.


Surat dari Abad 26

Siti Zahra Muthmainnah

Inilah kami. Manusia yang masih bertahan hidup pada tahun 2502. Tinggi kami hanya sekitar 20 cm. Dan kini, kami harus bertahan hidup dari serangan hewan-hewan yang sebenarnya tidak bersalah. Sekitar 500 tahun yang lalu, para penghuni bumi yang rakus memakai sumber daya alam dengan tamak. Kini, kamilah yang harus menanggung akibatnya. Keadaan lingkungan sangat gersang. Hewan yang mulanya herbivora, mulai kehabisan makanan dan berusaha mencari sumber makanan lain. Dan mereka memilih memangsa manusia. Namaku Zey, gadis berumur 13 tahun. Aku tinggal bersama ayahku Yar, dan adikku Zas.  Kami tinggal dalam sebuah ruang bawah tanah yang amat besar yang bernama Ruang Halley, sampai-sampai kami bisa membuat 15 rumah kecil, 1 gedung sekolah, dan pasar kecil di dalamnya. Ibuku telah hilang 2 tahun yang lalu sejak adanya serbuan kambing liar.  Oke, lupakan saja.

***

Pagi yang kurang cerah seperti biasanya. Tentu saja, kami kan tinggal di bawah tanah. Ventilasi yang dibuat tidak bisa terlalu banyak, karena itu dapat mengundang hewan masuk.

“Pagi, Kak.  Mau sarapan?”  sapa adikku, Zas.

“Oh, pagi juga, Zas. Boleh. Di mana Ayah?” tanyaku balik.

“Ayah sedang menyiapkan sarapan bersama yang lain.  Sebentar lagi selesai, kok.”  jawab Zas.

“Oke….”

Apakah kalian menyadari kalau adik kecilku bangun terlebih dahulu?  Itu memang sudah kebiasaanku yang sebenarnya merugikan; sering bangun terlambat. Seraya menunggu sarapan matang, aku memutuskan untuk mandi dan mengambil seragam.  Meskipun kami tinggal di bawah tanah, kami tetap bersekolah, lho… Tapi sekolah ini agak berbeda. Selain mengajarkan kurikulum biasa, kami juga diajari cara bertempur dan membuat alat-alat canggih untuk membantu bertahan hidup.

“Zey, sarapan sudah siap!”  teriak teman-temanku.

“Sebentar!  Sebentar lagi aku keluar!  Eh, hari ini sarapan apa?” sahutku dari dalam rumah.

“Ada deh… Ayo cepat, kalau lama seperti biasa, kami tinggal, ya….”  ledek temanku.

“Menyebalkan!”

Oh, aku belum bilang kalau sebenarnya tinggal di pengungsian besar tidak terlalu buruk. Kami memiliki banyak teman di sini.  Baiklah, aku sudah siap.  Aku akan menyusul teman-temanku. Aku pun membuka pintu rumahku yang terbuat dari kayu berukir.

“Dorr!!!” 

“Aaa!  Eh, kalian?  Arghhh!  Aku hampir terlompat kaget tadi!”  teriakku.

“Hahahahaha.”  tawa mereka meledak.

Seusai sarapan yang dipenuhi tawa, aku, adikku, dan teman-temanku segera berangkat ke sekolah. Aku dan teman-temanku memasuki kelas 7-A, sedangakan adikku masuk ke kelas 4-C yang terpisah sekitar 7 kelas dari kelasku. Wali kelasku adalah Bu Weyn, sosok wanita berkaca mata yang tegas, pintar, dan bertubuh “bulat”. Beberapa menit kemudian, Bu Weyn memasuki kelas 7A dengan membawa tas berisi buku-buku panduan membuat alat canggih. 

“Pagi, murid-murid!”  sapa Bu Weyn.

“Pagi, Bu….”  sahut kami serempak.

“Hari ini Ibu akan menjelaskan cara-cara terbaik untuk melarikan diri jika tempat berlindung kalian hancur. Baca paket halaman 73.”  perintah Bu Weyn cepat. Kami segera membuka halaman 73 dan membacanya dalam hati.

Situasi berbahaya memang tidak dapat diperkirakan. Maka, pelajarilah cara bertahan hidup dalam situasi apa pun. Jika tempat tinggal kalian dihancurkan oleh hewan pemangsa, kalian dapat melakukan hal berikut:

Pertama, jangan panik.  Segera bergerak ke bagian yang belum sepenuhnya hancur, atau ke balik timbunan material yang tidak membahayakan.  Kalian bisa bergerak dengan merangakak secara perlahan-lahan. Berkamuflaselah sebaik mungkin dan jangan melakukan gerakan yang tidak perlu. 

Jika pemangsa sudah pergi, carilah tas darurat kalian yang berisi barang berharga kalian jika memungkinkan.  Namun ingat, harta bukanlah segalanya. 

Jika sudah, berkumpul dengan keluarga kalian di tempat yang yang sudah disepakati sebelumnya. Jika kalian tidak menemukan anggota keluargamu, jangan panik berlebihan dan tetap bepikir positif.  Kalian dapat menghubungi tim penyelamat untuk mencari keberadaan mereka. 

Berikutnya, pergilah ke pengungsian terdekat, kalian harus mengetahui pengungsian terdekat karena itu akan sangat berguna pada saat genting. Jangan takut untuk meminta bantuan pada mereka, karena semua manusia memang sudah seharusnya tolong menolong. Kalian mungkin akan tinggal disana dalam waktu yang tidak singkat. Bersosialisasilah dengan penduduk setempat.

Itulah beberapa cara untuk bertahan jika tempat tinggal kalian dihancurkan hewan buas.  Tetaplah berdoa dan teruslah berusaha melakukan yang terbaik.

Sekitar 5 menit kemudian, seluruh siswa telah usai membaca halaman 73.  Biasanya, setelah membaca buku, Bu Weyn akan mengajari kami untuk membuat alat-alat canggih yang berguna.

“Baik, anak-anak. Kalian sudah mengetahui cara bertahan hidup jika tempat tinggal kalian hancur mendadak. Dan sekarang Ibu akan menjelaskan cara membuat ‘Tembakan Pengusir Predator’. Alat ini akan mengeluarkan bau yang tidak sedap, namun kalian tetap bisa bernapas dengan normal karena alat ini dilengkapi masker dengan penetralisir bau. Alat ini dibuat dengan meniru cara sigung bertahan hidup. Sekarang ketua kelas, tolong bantu bagikan alat dan bahan-bahan ini.”  ujar Bu Weyn secara cepat.  Kalian harus tahu, Bu Weyn ini kalau bicara memang cepat, bahkan terkadang kami tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

Sha, ketua kelas kami yang “kurang tinggi” segera membagikan alat dan bahan dengan gesit. Aku memperhatikan alat dan bahan yang kudapat. Hm, barangnya cukup sederhana. Eh, apa ini?  Kaus kaki?  Buah busuk?  Balsem?  Ewww…

“Jess, kamu sudah lihat?  Kita mendapat kaus kaki, buah busuk, dan ada pula balsem!  Untuk apa sih, bahan aneh seperti itu?” bisikku pada Jess, siswa terpintar di kelasku.

“Hhh, seperti yang dijelaskan tadi, alat ini akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Maka kita membutuhkan bahan berbau busuk seperti ini. Sebenarnya agak menjijikkan sih… Tapi… entahlah, coba saja.”  jawab Jess dengan lesu.

“Eh, jadi semua barang ini sungguhan diperlukan?  Rasanya ingin protes, namun alat rancangan Bu Weyn sejak dulu tak pernah salah.  Tidak!”  teriakku dalam hati.

Kami memperhatikan Bu Weyn membuatnya dengan seksama.  Lalu, kami mulai membuat alat tersebut. Namun, entah kenapa tanah yang kami pijak terasa bergetar. Debu-debu mulai berterbangan. Meja kami bergetar hebat. Alat-alat yang disediakan jatuh berdenting. Kami terdiam sejenak, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi 

“Semuanya, lari! Itu adalah hewan yang hendak menangkap kita!” teriak Bu Weyn panik sambil berlari. Namun, larinya tidak cukup cepat.  Langit-langit di atasnya mulai terlihat retak-retak. Nahas, lemari berukuran besar menimpa kakinya sehingga ia tidak bisa berlari.

“Ingat semua cara bertahan tadi! Jangan menyerah!”  teriak Bu Weyn lagi sebelum langit-langit di atas Bu Weyn benar-benar runtuh.

“Ibu…!” terdengar jeritan pilu dari teman-temanku.  Mereka mulai terlihat panik.

“Semuanya!  Jangan panik dan tetap tenang.  Kita bisa selamat dari situasi ini!  Ayo, ikut aku.  Kita menuju ke pojok sana. Reruntuhan di sana dapat kita gunakan sebagai tempat bersembunyi sementara.”

Kami segera mengikuti perintah Jess. Tetapi, hewan-hewan itu berhasil menemukan kami.  Kami mejerit  tertahan.

“Ah, sial!  Hewan itu menemukan kita!”  teriak Jess panik.

“Apa yang harus kita lakukan?”  sahutku mencicit.

“Baiklah, aku akan melanjutkan membuat Tembakan Pengusir Predator tadi.  Dan aku minta, Sha, bisakah kamu megalihkan perhatian hewan itu sebentar? Kurasa, larimu cepat. Dan yang lain, bantu aku mengumpulkan bahan pembuatnya.”  perintah Jess cepat.

“Baik!”  jawab kami serempak.

Jess membuat alat dengan cepat dengan bantuan kami semua. Seperti yang dibilang, gerakan Sha amat cepat sehingga ia selamat dari buruan hewan tadi. Jess segera menyemprotkannya ke arah predator tadi.  Mereka segera pergi karena mencium bau yang amat busuk. Namun, kami juga merasa kebauan karena masker penetral yang tersedia hanya ada satu dari tiap tembakan. Dan tentu saja, yang memakai masker itu adalah Jess.  Jess memang agak pelit jika menyangkut hal seperti ini.  Hehe, peace….

Setelah dirasa aman, kami memutuskan untuk mengecek rumah masing-masing. Rumahku rusak separuh, namun kamarku masih utuh.  Rumahku kini terasa sepi.  Aku segera mengambil tasku.  Aku mencoba mencari ayah dan adikku.  Namun sayang, mereka tidak ada di sekitar rumah. Aku mengecek tas mereka.  Oke, tas darurat mereka sudah tidak ada. Itu artinya, mereka selamat!  Tapi itu artinya, mereka sudah meninggalkanku lebih dahulu.  Oh, di manakah kalian?

Aku segera berkumpul bersama teman-temanku. Semua temanku sudah siap untuk menuju pengungsian terdekat. Oke, tolong maafkan gerakanku yang lambat ini…

Tanpa banyak omong, kami segera memanjat tangga untuk pergi ke permukaan. Uh, rasanya panas sekali!   Pepohonan yang tersisa hanya sedikit.  Kira-kira, siapa yang patut disalahkan atas hal ini? Baiklah, sepertinya ada hal lebih penting yang harus diurus. Ada beberapa hewan besar yang biasa disebut kucing di sana. Sekonyong-konyong aku ingat bahwa tubuh kami masih berbau busuk, terkena sedikit semprotan tadi. Aku membisikkan hal itu pada teman-temanku, dan mereka tersenyum lega.  Kami melewati kucing-kucing itu dengan aman.  Kami melanjutkan perjalanan dengan mudah. 

Sebenarnya, jarak ruang bawah tanah kami yang rusak dengan Ruang Doodie, ruang bawah tanah terdekat hanya sekitar 1 km. Namun, karena tubuh kami yang kecil, 1 km itu terasa seperti berjalan sejauh 10 km.  Ini sudah sekitar pukul 7 malam, dan kami baru menempuh jalan sekitar 5 km.  Dan kalian tahu?  Kurasa lingkungan di sini lebih sejuk dan terawat.  Aku lebih menyukai lingkungan yang seperti ini, dibandingkan lingkungan tempatku dulu. Kami terus melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, kami menemukan rombongan kecil lain yang sedang berjalan ke Ruang Doodie.  Eh, itu adikku!  Zas!

“Zaaas!”  jeritku senang.

“Eh?  Kakak!”  pekiknya. 

Aku segera berlari meghampiri adikku, begitu pula adikku dia berlari hendak memelukku. Beberapa teman dari rombongan kelas 7 juga berjumpa dengan adiknya di rombongan kelas 2 dan 4.  Aku segera berpelukan dengan Zas. Kami menangis haru. Kedua rombongan berhenti sejenak.  Setelah tangis kami reda, aku mulai menanyakan beberapa hal pada Zas.

“Zas, apakah kamu tidak bertemu Ayah?  Kapan kamu kembali ke rumah?  Kamu terluka?  Bagaimana teman-temanmu?” tanyaku bertubi-tubi. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan adikku.

“A… aku tidak sempat bertemu Ayah. Ketika aku sampai di rumah, tas ayah sudah tidak ada. A… ayah meninggalkanku, Kak. Aku tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”  jawab Zas agak tersendat

“Syukurlah. Baiklah, sudah bisa melanjutkan perjalanan.  Kelihatannya yang lain sudah siap” jawabku lega.

Adikku mengangguk sebagai jawaban.  Benar saja, kedua rombongan sudah mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanan.  Aku segera menyandang tasku, begitu pula adikku.  Suasana perjalanan menjadi lebih ramai dan ceria. Saat tengah malam tiba, kami memutuskan untuk beristirahat dengan membuat tenda sederhana dari bahan alam.  Kami terlelap selama sekitar enam jam.

Keesokan harinya, kami terbangun dengan segar. Jarang-jarang kami pergi ke luar permukaan.  Rasanya segar dan cerah.  Kami terbangun dengan hati senang. Kami mencuci muka dari air selokan.  Eits, jangan salah. Air selokan ini jernih karena mana mungkin hewan mencemari selokan seperti manusia pada tahun 2000? Setelah itu, kami menyantap sarapan sederhana:  apel jatuh yang masih bersih. 

Kami meneruskan perjalanan.  Rasanya kakiku sangat pegal.  Kami terus berjalan selama 4 jam, tanpa istirahat.  Eh, apa itu!  Tunggu…!  Itu kan plang penanda Ruang Doodie!

“Teman-teman! I… itu, plang Ruang Doodie, kan?” ucapku terbata karena terlalu bahagia.

“Iya. Ayo, kita pergi ke sana!” sahut beberapa temanku dengan cepat.

Kami semua langsung berlari menuju Ruang Doodie.  Sekitar lima menit kemudian, kami sudah sampai ke depan pintu menuju Ruang Doodie. Anehnya, pintu tersebut tidak tertutup rapat dan mereka memiliki banyak ventilasi.  Oh, aku ingat!  Kata Bu Weyn, lingkungan daerah Ruang Doodie masih terjaga sehingga hewan-hewan tidak tertarik memangsa manusia.  Kami mengetuk pintu yang mengarah ke bawah.

“Permisi… bolehkah kami masuk? Kami warga Ruang Halley, dan Ruang Halley telah hancur beberapa waktu yang lalu.”  teriak Jess dari balik pintu.

“Ayo masuk!  Di sini sudah ada beberapa warga Halley. Jangan sungkan-sungkan ya, anggap ruang sendiri.”  jawab beberapa orang dari dalam.

Kami segera memasuki Ruang Doodie. 

“Wah, ruang ini nyaman juga, bahkan lebih nyaman dari Ruang Halley.  Ruang ini juga terang dan tidak pengap.”  pikirku dalam hati.

Kami segera menuju ke meja pendaftaran. Memang, jika ada warga yang datang ke ruang lain, mereka harus didata.  Aku mengantri di belakang teman-temanku yang ternyata telah berbaris lebih dahulu. Baiklah, lagi-lagi karena kelambananku, aku berada di barisan paling belakang. Menunggu itu melelahkan, ternyata ungkapan itu memang benar.  Aku merasa sangat bosan dalam antrean ini. 

“Wah, ternyata sudah giliranku!” sorakku dalam hati.  Aku segera mengambil pulpen yang disediakan dan menjawab beberapa pertayaan dari petugas penjaga meja. Eh, Yar Ave?  Itu kan… Ayah!

“Permisi, Pak.  Apa benar di sini ada pengungsi dari Ruang Halley yang bernama Yar Ave?” tanyaku segera

“Iya, memang ada.  Kenapa, ya?”  tanyanya heran.

“Itu ayahku!  Beliau tinggal di rumah yang mana, ya?”  sahutku kegirangan.

“Hmm… sebentar.  Oh, Pak Yar Ave menumpang di rumah nomor 12.  Rumah itu berada di dekat pasar, dan bercat hijau muda.”  jawabnya lagi.

“Terima kasih banyak!”  ucapku berterima kasih.

“Oke, sama-sama.”  jawabnya seraya tersenyum.

Aku segera mencari adikku.  Ternyata Zas sedang bermain bersama anak-anak di sekitar sini. Lalu aku mengajaknya untuk menemui ayah di rumah nomor 12. Ternyata rumah itu tidak sulit dicari.  Aku segera mengetuk pintunya.

Tok tok tok…

Pintu dibuka oleh… ayahku!

“Ayaah! Aku khawatir sekali!” teriakku dan adikku sambil melompat memeluknya bersamaan.

“Oh, hai, Zey, Zas!  Ayah di sini baik-baik saja. Kalian tidak apa-apa, kan?”  tanya ayah dengan tersenyum haru.

“Kami baik-baik saja, Ayah. Tapi, di mana pemilik rumah ini?  Apa aku dan Kak Zey boleh tinggal di sini juga?”  tanyaku Zas ragu.

“Oh, dia sedang berbelanja ke pasar sebentar. Tidak apa-apa.  Ayah sebelumnya sudah bilang, jika nanti dua anak ayah akan ikut tinggal di sini, dan ia mengizinkan,” jawab ayah tenang, “dan ada sedikit kejutan untuk kalian,”  bisik ayah kemudian.

Yes!  Aku dan Zas melompak senang.  Lalu aku, ayahku dan Zas menunggu si pemilik rumah dengan duduk di sofa yang berada di ruang tamu.  Rumah ini cukup indah dan nyaman untuk ditinggali. Terdapat empat buah kamar berukuran sedang, dua kamar mandi lengkap dengan bathtub dan sabun yang harum, dapur, dan ruang bersantai juga ada.

Tak lama kemudian, datanglah seorang wanita paruh baya membawa banyak kantung belanjaan. Dia datang bersama… tunggu, kupikir dia mirip dengan…

“Ibu…!”  tanyaku pelan

“Hai Zey, hai Zas!” sapa ibu hangat. Dan kami langsung bertiga berpelukan secara spontan.

Kurasa aku akan betah tinggal di sini.  Tinggal satu ruangan bersama adikku, ayahku, teman-temanku, dan tambahkan ibuku, mengapa tidak?

Baiklah teman-teman. Jika kalian, warga tahun 2000 dapat membaca kisahku yang dikirim lewat mesin waktu kami, kuharap kalian semua dapat segera memperbaiki diri.  Jangan merusak alam, karena bisa jadi hewan-hewan yang dirugikan akan membalas kalian dengan cara mereka sendiri.  Satu lagi, hargai semua makhluk, yang ada.  Jika kalian ingin dihargai, maka kalian harus menghargai mereka juga.  Jangan sampai kalian menyesal saat hewan-hewan itu membalas tidak menghargai bangsa manusia dengan menginjak-injak kalian.

Sekian tulisan singkatku untuk warga abad 21, terima kasih.

Ruang Doodie, 10 Oktober 2502.


Begitulah ceritanya.  Aku berharap suatu saat ia menjadi penulis yang handal.


Bogor, 21 Juni 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-12


1 komentar:

  1. kak surat abad 26 itu bagus loh kak di jadikan novel fiksi. keren bgt pasti nya tuh kak..

    BalasHapus

Kidung Cinta 31

 Cinta Kedua Oleh:  Venice Rahayu https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220216092135-37-315720/kacau-penduduk-20-negara-ini-kecanduan-smartph...