Tukang Bubur
Oleh: Venice Rahayu
Kokok ayam menyambut pagi datang. Hiruk pikuk di luar kamar sudah mulai terdengar. Aku bersama dua teman lainnya bergegas berkemas mengawali hari. . IHT Kurikulum Merdeka memasuki hari kedua. Aktivitas pagi diisi dengan jalan santai sekaligus pengenalan lingkungan. Kebetulan di sekitar villa tempat kami menginap ada pasar. Ramai sekali. Terlintas pikiran untuk sekalian mencari oleh-oleh buat anak-anak di rumah.
Seorang teman mengetuk pintu dengan keras. Aku membukanya dengan cepat. “Ayo!” ajaknya. Wah, semuanya sudah berkumpul di halaman villa dengan setelan baju olah raga putih merah. Canda tawa di setiap sudut pekarangan menyapa salam hangat untuk pagi hari ini.
Kami bergerombol keluar dari Villa Alamanda tempat kami menginap. Di kiri kanan barisan bunga aneka warna tersenyum menyambut kami. Apalagi semalam turun hujan, sehingga bunga-bunga tampak berseri pagi ini. Sementara itu, ikan berwarna-warni nampak sesekali muncul ke permukaan di kolam yang terawat dengan sangat baik, di sisi kanan dan kiri jalan yang kami lalui.
Keluar dari gerbang, nampak para pedagang berjejer sepanjang jalan. Ada pedagang baju, buah-buahan, sepatu, makanan, dan masih banyak lagi. Para pedagang itu mengambil sebagian badan jalan di kiri dan kanan, sehingga jalan yang sudah sempit semakin sempit saja. Kami harus berjalan mepet dan beberapa kali harus berhenti untuk memberi jalan kendaraan yang lalu lalang.
Di persimpangan jalan, kelompok berpencar. Aku bersembilan mengambil jalan menuju Curug Cilember. Tidak banyak kendaraan ke arah sini. Sementara yang lainnya mengambil jalan lurus. Katanya yang lurus pun akhirnya terpisah menjadi beberapa kelompok sesuai ketertarikan masing-masing.
Kususuri kawasan Cilember yang penuh tantangan ini dengan penuh semangat. Udara yang segar membuat kami merasa bertenaga. Jalanan yang mendaki pun tak menjadi rintangan. Kami menikmati suasana pedesaan yang masih asri. Tak lupa kami berfoto mengabadikan moment bahagia ini.
Seorang tukang bubur dengan keramahan yang tidak dibuat-buat mempersilakan kami untuk barang sejenak menikmati dagangannya. Tanpa ragu, kami langsung menuju meja persegi yang panjang dan kursi yang berderet-deret di pekarangan rumahnya yang luas dan asri. Nikmat rasanya duduk-duduk sambil menikmati semangkuk bubur lezat di tengah alam yang molek. Keramahan membuat kami betah berlama-lama di sana sambil bertukar cerita. Setelah puas, kami pun berpamitan melanjutkan perjalanan. Sungguh tercengang ketika membayar, bubur sedemikian lezatnya hanya lima ribu rupiah saja. Padahal jajanan di gang di sebelah sekolah kami, bubur seperti itu sudah lima belas ribu rupiah.
“Untung kecil tak masalah. Yang penting berkah. Para pelanggan juga merasa puas.” demikian tutur bapak paruh baya ini. Penampilannya nampak sangat segar dengan setelan koko dan sarung serta kopiah hitam di atas kepalanya. “Hidup itu harus bermanfaat. Ya, Bapak hanya bisa seperti ini.” lanjutnya dengan seulas senyuman yang tulus.
Melalui tukang bubur, ada hikmah yang bisa aku petik dari peristiwa pagi ini. “Semoga berkah ya, Pak.” Bisikku dalam hati.
Bogor, 14 juni 2022
Tantangan menulis hari ke-5
Bahagia bersama... Persahabatan yang manis
BalasHapusBetul, Bun🤗
HapusWih wih.. Ditunggu kidung 7 kakakk kuu.. Makin telaten saja kakak yaa 😁
BalasHapusSaya juga lagi nunggu lanjutan Rania..👍🏻😍
HapusMantap Bu Rahayu ,emang ibu dan bapak guru kalau sudah kumpul yah banyak ekting he he sehat aelalau
BalasHapusGuru smp ya seperti murid smp, Pak🤭
BalasHapus