Bukan Salahku
Venice Rahayu
https://www.wallpaperbetter.com/id/hd-wallpaper-zcsao
Lagi-lagi dia datang telambat. Aku mulai setuju dengan guru-guru yang lain, sepakat membuat peraturan yang lebih ketat lagi unttuknya.
“Astagfirulahaladziim..., anak ini tidak pernah merasa jera. Alasannya selalu sama, bangun terlambat!” kata Bu Ari guru BK di kelas VII. Beliau sudah pusing dan bingung menghadapi anak yang satu ini. Bu Ari berpandang-pandangan denganku.
Aku mengenalnya di kelas sebagai anak pendiam. Penampilannya sangat tidak pantas disebut peserta didik. Baju kusam, kusut, dan bau. Badannya juga seperti anak yang baru bangun tidur langsung lari ke sekolah. Walaupun pendiam, setiap harinya ada saja kasus yang dia buat. Perkelahian dengan teman sekelas maupun dengan kakak kelas menjadi berita sehari-hari. Selalu saja pelaku pemukulannya bernama Ojan. Anak kelas VII E. Anak yang setiap hari mukanya selalu tegang dan kaku.
Aku terlongong-longong memegangi kertas kusam dengan nilai 0. Kertas-kertas lain yang sudah kuperiksa bernilaikan 100, 98, 96, dan beberapa memang di bawah nilai minimum yang sudah sekolah kami tetapkan, namun tak ada yang mendapat nilai 0 selain dia. Seperi biasa, wajahnya nampak tidak peduli ketika aku menanyakan mengapa nilainya nol.
“Kamu tidak menghafal tadi malam, Jan?” tanyaku penasaran.
“Tidak, Bu.” jawabnya singkat.
“Kamu tahu hari ini ada ulangan Bahasa Indonesia?”
“Ya.”
“Mengapa tidak mau menghafal?”
“Saya ketiduran.” sahutnya sambil menunduk.
“Alasanmu selalu ketiduran Memangnya kerjamu hanya tidur?Ibumu tidak menyuruhmu menghafal?” tanyaku makin penasaran.
“Ibuku belum pulang kerja saat aku tidur.”
“Jadi kamu sama siapa aja di rumah?”
“Adik.”
“Ayahmu belum pulang juga?”
“Ayahku sudah meninggal, Bu.”
“Oh....” sejenak aku terhenyak. “Maaf!” kataku kemudian, dengan sangat hati-hati. Namun kulihat dia tenang-tenang saja.
“Adikmu berapa orang?”
“Empat. Perempuan semua.”
“Lalu, adik-adikmu, siapa yang mengurus saat ibumu bekerja?”
“Saya, Bu.”
Sampai di sini aku makin terhenyak. Lemas seluruh persendianku. Kutatap dia lekat-lekat, nampak dia memainkan jemarinya yang kotor.
“Memang kamu bisa bantu apa di rumah. Kamu paling besar?”
“Ya, Bu. Aku anak paling besar. Adikku yang terkecil malah masih bayi. Aku bantu Ibu bekerja. Pulang sekolah, kadang masih pakai baju seragam, aku ke warung nasi bantu-bantu cuci piring di sana sampai menjelang magrib.”
“Ibumu di rumah saat kamu kerja?” simpulku. Dia mengangguk pelan.
“Ibu mengambil cucian tetangga dan dicuci di rumah pada siang hari. Kalau malam hari, ibu berjualan sayuran di kedai orang di Pasar Anyar sampai subuh.” jelasnya.
“Bagaimana adik bayimu, baik-baik sajakah kalau malam?” tanyaku makin penasaran.
“Adik selalu menangis saat malam tiba. Mungkin dia gak suka kuberi susu cair dari warung, he..he..he… . Adik memaksaku begadang sepanjang malam.” senyumnya kembali terukir di wajahnya yang sangat tirus.
Aku terpaku. Aku kehilangan kata-kata. Aku ingin berlari dan menyembunyikan air mata yang hendak menyeruak membobol mataku. Aku tak ingin kalah dari anak ini dalam menyembunyikan kesedihannya.
"Oh... .” lagi-lagi hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Menutupi kegusaran yang ada, kucoba memperbaiki letak dudukku, dan kucoba untuk tersenyum,
“Kira-kira berapa yang bisa kamu kumpulkan setiap harinya?”
“Cukup buat sarapan besok pagi, Bu. Bagaimana banyaknya cucian piring.”
“Alhamdulillah.”
“Ya, Bu alhamdulillah.” senyum getirnya lagi-lagi menyayat hatiku untuk kesekian kalinya. “Emm…, saya masih bisa perbaikan, Bu?” lanjutnya sambil menatapku penuh harap.
“Boleh. Oh, lantas kenapa kamu sering terlibat perkelahian dengan teman-temanmu?” kataku serta-merta saat teringat peristiwa yang lalu-lalu, di mana Ojan sering tertuduh sebagai biang keributan.
“Aku tidak tahan dihina terus, Bu… . Aku letih!” dagunya tertunduk sangat dalam.
***
Semilir angin mengusik kalbu, menggigilkan tulang-belulang. Remuk-redam. Sebait kidung lara nyaris tenggelam di penghujung waktu yang tak pernah menjadi siang. Selembar daun muda nyaris gugur tersapu badai di dahan yang nyaris patah.
“Bukan salahku!” katamu lirih.
Bogor, 16 Juni 2022
Tantangan menulis hari ke-7
Mmmm..jadi mewek aku Bun...
BalasHapusKisah nyata, Bun.. belasan tahun ke belakang..
HapusCerita bagus. Semangat Bu Rahayu.
BalasHapusEhmm tulisan kakak ku makin hari makin cantik aja nih kak
BalasHapusMulai agak relaks menulis nih.. benar kata Omjay..
HapusHidup kisahnya
BalasHapusTerima kasih🙏🏻
HapusItulah siswa dan anak yg butuh banget dg kasih sayang org sktr terutama org tua😭
BalasHapusIya.. guru harus peka terhadap permasalahan anak. Saya jadi belajar..
HapusAsli mewek aku bund
BalasHapusMemang begitu, Bun.. anaknya sekarang berdagang di pasar.
HapusCeritanya bagus dan mengharukan. Ceritanya menarik sekali.
BalasHapusSaya akan selalu terkenang dengan anak satu ini.
Hapus