Jumat, 17 Juni 2022

Kidung Cinta 9

 Perempuan di Batas Fajar

Oleh:  Venice Rahayu

https://m.brilio.net/brilistyle/tag/s/serba-serbi-ramadan/index3.html

    Perempuan itu gelisah di batas fajar. Tubuhnya yang merunduk dibebani kecemasan, perlahan rubuh dalam sujud di atas pengakuan pagi yang telah datang. Ia memang telah kehilangan malam yang menyiksanya, namun pagi pun tak memberi kebahagiaan padanya.

    “Aku ingin Asepku kembali. Di mana Asepku sekarang ya, Allah?” rintihnya menatap cahaya kemuning hangat yang menembus kamar lewat celah jendela.

    “Kau tak bisa terus-menerus seperti ini, Uyun! Anakmu pasti kembali. Mungkin dia ikut kapal ke Bakauhuni. Yang pasti dia akan kembali, jadi berhentilah bersedih!” Hasanah, tetangga sebelah yang sepanjang malam menemaninya, menepuk-nepuk punggungnya, menguatkan. “Daripada terus menerus melamun memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik kau pergi bekerja! Kalau kau begini terus, si Aisyah mau makan apa?”

    Uyun tak berkata-kata lagi. Sementara itu, lamat-lamat pelupuk matanya serasa menyaksikan kembali percakapannya dengan Asep kemarin pagi.

***

    “Aku ke dermaga dulu ya, Ummi. Musim liburan sekolah, kapal-kapal pasti penuh penumpang!”  ucap Asep sesaat setelah pembagian rapor di sekolahnya. Menjadi silem1 sudah ia tekuni semenjak kelas empat sekolah dasar. Walau berat, namun tak bisa kupungkiri apa yang ia lakukan sangatlah membantu perekonomian keluargaku. Apalagi sejak ayahnya meninggal, jangankan untuk sekolah dan membeli baju, untuk makan pun kadang ada kadang tidak. Belum lagi kondisi rumah yang kami tempati semakin melapuk. Untunglah kini Asep sudah dapat membantuku memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil nyilem2. 

    Namun, ada sedikit keganjilan yang tiba-tiba menyeruak menembus dadaku di pagi hari itu yang membuat darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Kemuning pancaran langit tak lagi terbias di wajah Asep. Setiap jengkal tubuhnya seolah redup, tak ada sedikitpun pancaran cahaya riang yang menyala seperti biasa. Aku tak pernah bisa mengungkap tabir itu sampai kapan pun setelah hari itu....

***

    Senja telah hilang, melesat bagai kilat digantikan dengan gelap. Begitu pekat tanpa ada goresan warna lain selain hitam. Angin laut bertiup sendu, menyampaikan pesan alam bahwa air sudah mulai pasang. Namun, malam tidak menghentikan segala aktivitas di pelabuhan ini.  Malahan, kian larut kian ramai saja.mKapal-kapal feri bermuatan penuh berseliweran setiap dua puluh menit sekali, membawa para penumpangnya ke Pelabuhan Bakauhuni.  

    Remaja tanggung empat belas tahunan itu menyilangkan kedua tangannya di dada, berusaha mengusir dingin yang menelusup ke dalam pori-pori kulitnya. Angin malam tak cukup mampu mengeringkan bajunya yang kuyup. Sejak satu jam yang lalu ia telah menyerahkan diri dalam balutan malam yang merontokkan sendi-sendi tulangnya. Termenung di geladak menyaksikan teman-temannya yang masih asyik menyelam memperebutkan koin-koin yang dilemparkan para penumpang dari atas kapal. Perlahan, satu-dua temannya ikut menyerah. Tubuh-tubuh menggigil berjinjit-jinjit ke dermaga dengan tangan disilang di dada.

    “Meunang sabaraha poe ieu, Sep3?” tanya Mahdi sahabat nyilem¬-nya sejak kelas 4 sekolah dasar. Mahdi menghempaskan tubuhnya di sebelah pemuda itu. Bibirnya sudah sepenuhnya membiru.

“Nya, lumayan we lah, meunang tilu puluh rebu4. Cukuplah untuk membeli makan hari ini.  Kau dapat berapa?”

“Dua puluh ribu.”  ujarnya sedikit meringis. “Padahal weekend, tapi semakin ke sini orang-orang sepertinya tak punya uang receh lagi. Mungkin isi dompetnya lembaran merah semua.” Mahdi tertawa getir.

    “Ya, daripada tidak dapat sama sekali. Syukuri saja.” 

    “Ngomong-ngomong Asep, bukankah Aisyah adikmu berulang tahun besok?”

    “Eh, itu.., bagaimana kau tahu?”

    “Rumahku dan rumahmu hanya dipisahkan dinding triplek tipis saja, bahkan kau kentut pun aku mendengarnya, tahu!” Mahdi terkekeh. Asep cemberut masygul, tapi akhirnya ikut terkekeh.

    “Ya, begitulah. Tahun kemarin ia puas hanya merayakan ulang tahunnya dengan sebungkus roti manis. Tapi tahun ini Aisyah minta dibelikan kue ulang tahun sungguhan.”

    “Seperti.., kue-kue yang dijual di toko-toko berbau harum?” tanya Mahdi, “Itu kan harganya mahal.”

“Mana tahulah anak lima tahun kue itu mahal atau tidak.  Mereka kalau mau sesuatu, ya mau saja, tidak menimbang-nimbang. Padahal, untuk membeli roti manis saja, aku harus menabung seminggu dulu.”

“Tadinya kau berniat membelikannya kue dari hasil nyilem hari ini, tapi urung karena ternyata penghasilan hari ini tidak sesuai dengan ekspektasimu.” tebak Mahdi.  

“Ibu bilang bahwa aku tak perlu mendengarkan permintaan Aisyah, bahwa anak itu tidak sungguh-sungguh dan hanya sedang berkhayal saja.” Asep menarik napas panjang, “Namun, kupikir Aisyah sungguh-sungguh menginginkannya. Dia mengucapkan keinginannya padaku dengan hati-hati, dan seperti tahu diri bahwa permintaannya sangat sulit untuk diwujudkan, dia buru-buru menambahkan bahwa itu hanyalah khayalannya selintas saja, bukan untuk dijadikan kenyataan. Namun aku tahu kalau Aisyah memikirkan itu siang dan malam, dan sepertinya keinginan itu sudah ada sejak lama. Aku tak mau melihat kekecewaan yang membayang di mata Aisyah jika besok ulang tahunnya kurayakan dengan roti manis lagi. Dia sudah banyak menahan diri dan menderita sepanjang hidupnya. Aku mau, setidaknya di hari ulang tahunnya, ia merasakan bagaimana rasanya menjadi anak dari keluarga berkecukupan, yang meniup kue ulang tahun sungguhan di hari ulang tahunnya.”

“Kalau begitu, kenapa dari satu jam yang lalu kau menyerah dan malah duduk terpekur di sini? Kalau kau sebegitu inginnya membelikan Aisyah kue, berusahalah yang benar! Nyilem sampai pagi kalau perlu! Sekalian kau pergi ke warung seafood. Kang Jaja, cuci piring di sana, atau jadi kuli angkut sampai subuh, banyak yang bisa kau lakukan daripada duduk termenung menekuri nasib di sini!” Mahdi mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. 

“Ayo kita bekerja semalaman!” mata Mahdi dipenuhi semangat yang membara. Sejenak ditatapnya Mahdi. Bagaimana anak ini bisa memandang dunia dengan sangat positif? Apa yang membuatnya bisa penuh dengan semangat dalam menjalani hari-harinya? Padahal keadaan keluarganya tidak lebih baik dariku.

“Bagaimana bisa kau selalu penuh dengan semangat seperti ini setiap harinya, Mahdi?” tanyanya penasaran. Mahdi tersenyum.

“Bagaimana ya..., aku selalu berpikir bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Seperti yang Tuhan janjikan dalam ayat-ayat-Nya. Lagipula Asep, Tuhan tidak akan menguji kita melebihi batas kemampuan. Jika sekarang kita masih terus berjuang demi masa depan yang lebih baik, kita masih berkubang dalam kemiskinan ini, kau seharusnya merasa tersanjung. Itu berarti Tuhan melihat kita sebagai orang-orang kuat! Kita dipercaya untuk menanggung beban lebih berat dari orang-orang kebanyakan! Berbahagialah!”

Asep ikut tersenyum. Diterimanya uluran tangan Mahdi, merasakan rambatan semangat ikut mengaliri pembuluh nadinya.

“Kau benar. Mari kita berjuang lagi!”

Bersama-sama mereka kembali menceburkan diri ke dalam air yang gelap.

***

    “Ada mayat anak laki-laki mengapung di dermaga!” teriak seorang warga yang sontak membuatku dan buruh lainnya menghentikan pekerjaan. Orang-orang yang ada di sekitaran dermaga mulai mendekati jasad yang terbujur kaku. Aku berusaha menerobos kerumunan orang-orang yang kini mulai ramai berkerumun.

Baju itu... tidak asing bagiku. Kaos lusuh berwarna coklat dan celana pendek berwarna biru tua dengan jahitan tak rapi di bagian sakunya. Asep! Tubuhku gemetaran melihat sosok yang kini terbujur kaku di hadapanku. Anak sulungku yang rajin dan pandai, yang selalu menomorsatukan keluarganya, yang selalu berbakti kepada ibunya...

“Kemarin malam ada silem yang katanya jatuh terpeleset dari kapal, dan belum diketemukan sampai sekarang. Sepertinya, ini jasad silem yang jatuh kemarin itu.” petugas keamanan yang berada di belakangku berbisik pada rekannya. Tapi aku bisa mendengar itu. Air mataku mulai berjatuhan, kian lama kian deras.

“Dia anakku....” suaraku terdengar monoton dan hampa. Beberapa orang mulai menoleh ke arahku. Kutatap mereka dengan pandangan nanar dan kosong.

***

    Malam merayapi dinding waktu.  Purnama duduk di singgasana malam. Semilir angin menerbarkan harum fajar yang semakin samar. Jam menunjukkan pukul satu dini hari.  Mahdi dan Asep dengan terkantuk-kantuk menepi, dengan segera berlari-lari kecil ke bawah sorotan lampu dermaga, berusaha mencari kehangatan.

    “Benar kan Sep, apa kubilang. Sabar dan berusaha terus!” Mahdi menghitung hasil koin mereka. Asep memandang dengan takjub hasil kerja keras mereka. Totalnya ada seratus ribu!

    “Walaupun letihnya tak tertolong, tapi sekarang aku bisa membeli kue untuk Aisyah!” 

    “Nah, sekarang kita tunggu tokonya buka sambil mengeringkan baju!” Mahdi memeras air keluar dari baju lusuhnya, setelah membagi dua hasil kerja kerasnya dengan Asep.

    Sekonyong-konyong Andi, teman nyilem mereka juga, menghampiri dengan wajah berseri-seri.  

    “Hey, rek kamana5?” sapa Asep.

    “Baru mau mulai nyilem! Asma Nenekku kambuh, dan di rumah hanya ada adik-adik. Ayah sedang ngojek, Ibu juga sedang bekerja, jadilah aku menjaga adik-adik sekaligus merawat Nenek dulu sesiangan tadi. Kalian tidak nyilem?” 

    “Baru selesai.” jawab Mahdi.

    “Kenapa tidak langsung pulang?”

    “Aku akan pulang sebentar lagi, mau mengambil baju salin sebentar. Tapi begitu pagi tiba Asep mau berjalan kaki ke toko kue di jalan utama sana, membeli kue ulang tahun Aisyah.”

    “Dengan baju basah seperti ini?”

    Mahdi menghela napas, “Asep tak mau pulang, katanya takut ketahuan Aisyah.”

    “Dia pasti curiga melihatku berganti baju dan pergi lagi, Mahdi. Nanti Ibuku banyak-banyak tanya juga, ya sudahlah tidak apa-apa, nanti juga kering.”

    “Nih, pakailah bajuku!Aku saja yang pakai baju basahmu, mau kupakai berenang ini.” Andi membuka kausnya dan melemparnya ke arah Asep.

    “Benar tidak apa-apa?”

    “Daripada kau masuk angin nanti  Pakailah.”

     Asep memungut kaus Andi, dan mereka mulai bertukar baju  Pemuda itu bersyukur ketika baju kering Andi membawa kehangatan baru ke sekujur tubuhnya.

    “Nanti kuambil itu baju ke rumahmu! Sampai jumpa besok!” Andi melambaikan tangan ke arah mereka, kemudian berlari-lari kecil ke arah kapal yang hendak berlabuh.

    “Ya sudah, aku mau tidur sebentar, Mahdi. Kalau sudah agak terang bangunkan aku, ya!” Asep bergelung di bangku dermaga, sementara Mahdi hanya mengangguk, “Aku pulang dulu, nanti aku ke sini lagi.”

    Keduanya pun berpisah, dan Asep terlelap dalam tidurnya dengan sangat pulas, sampai-sampai tidak mendengar teriakan panik orang-orang di sekitarnya ketika seorang silem terpeleset jatuh dari kapal dan tak timbul-timbul lagi ke permukaan berpuluh-puluh menit kemudian.

TAMAT


silem1 = anak-anak pencari koin di pelabuhan


Bogor, 18 Juni 2022
Tantangan Menulis Om JayHari Ke-9

6 komentar:

  1. Kereeen bunda, diksinya juga mantaap, aku suka🥰

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak atas supportnya🙏🏻🤗

    BalasHapus
  3. Terima kasih Bu Veni sudah berbagi kisah yang menarik (Guru Dion Indonesia)

    BalasHapus
  4. Sama-sama, terima kasih juga sdh berkenan mengapresiasi karya saya🙏🏻

    BalasHapus

Kidung Cinta 31

 Cinta Kedua Oleh:  Venice Rahayu https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220216092135-37-315720/kacau-penduduk-20-negara-ini-kecanduan-smartph...