Sebuah Lakon dalam Putaran Waktu
Oleh: Venice Rahayu
https://tirto.id/kisah-klasik-catatan-perjalanan-bujangga-manik-cpwp
Tanpa salam, kau raib selepas dzuhur! Aku berteriak ke segala arah. Aku begitu takut membayangkan, apa bakal sampai dirimu kembali kepada kami? Aku mencoba membaca cahaya yang semakin jingga dan mengusung malam. Tiba-tiba aku begitu takut menghadapi pagi. Takut membayangkan kau terperangkap dalam kelam. Sementara hujan di luar makin menderu. Akhirnya, kulayarkan sajadah. Kuselesaikan sujud hingga menjelang pagi, hingga detik-detik jam yang bergayutan mampu menghabiskan keresahanku.
Hari itu…, Minggu pagi. Selepas dari Istana Bogor Open, kami enam orang dari kelas VII-A, meminta izin kepada wali kelas untuk jalan-jalan di sekitar Kebun Raya. “Pengen lihat turis…, hahahahaha…!” kata Qayla berseloroh. Pada Bulan Juni ini, para wisatawan asing maupun domestik berdatangan dari segala penjuru untuk ikut menikmati meriahnya perhelatan Hari Jadi Kota Bogor.
Namun, waktu telah memutarkan lakon-lakon dalam putaran yang amat cepat. Tiba-tiba saja…, Arkaan menghilang!!! Aku ketakutan. Kuakui, di antara semuanya, Arkaanlah yang paling keras kepala. Mungkin karena dia meyakini kecerdasannya.
“Di sini ya, tempat tilemnya* Prabu Siliwangi ?” kata Arkaan sambil menunjuk bangunan kecil di salah satu sudut Kebun Raya.
“Kata ibuku memang betul, di sana lokasinya. Tapi hati-hati ya, di sini mah jangan sompral*, pamali…! “ ujar Hanin mengingatkan, “ Nanti kamu bisa dibawa ke negaranya.”
“Ah, hahahahaha…!!! Zaman modern begini masih percaya pamali? Mana mungkin orang yang sudah meninggal masih ngurusin urusan dunia…, sibuk kallee dengan urusan alam kubur. Kamu mah Hanin, kayak bukan orang beriman aja…!”
“Eh…, hati-hati ya kalau ngomong ! Kata ibuku, bagaimanapun kita harus menghormati mitos meskipun bukan untuk meyakininya.”
“Dari tadi ngomongnya kata ibuku kata ibuku melulu…, kamu udah kayak ibu-ibu tuh sekarang, hahahahaha…! Kalau berani, ayo kita buktikan omonganmu itu. Aku ingin melihat kau atau aku yang benar…”
“Arkaan, istighfar ! Kamu terlalu banyak tertawa. Lagipula masalah begini tidak perlu pembenaran…!!!” teriakku. Namun terlambat, secepat kilat bak meteor yang terlempar dari ruang angkasa, Arkaan melompat ke dalam rerimbunan Buitenzorg, meninggalkanku yang terpaku dalam bisu. Denting kecemasan di hatiku mulai berbunyi, pelan tapi pasti.
***
Arkaan mendengar deru sungai, mencium bau hutan. Hembusan angin mengggelitik helai rambut dan pakaiannya. Matanya masih sulit terbuka ketika sayup-sayup mendengar nyanyian seorang gadis berselang dengan desau angin senja.
Kulukis wajahmu di pelataran rinduku yang biru.
Kucari sosokmu di lembar mimpiku yang dingin.
Namun kau tetap samar…
Ingin segera kuakhiri penantian tak berakhir ini.
Ah…, sulitnya untuk menanti kapan kau kembali…!
Syair yang demikian indah itu, telah menghipnotisnya, membuat matanya menjadi terbuka. Masih dalam pengaruhnya, kaki pun bergerak, dan…, matanya terpaut pada seorang gadis ayu bagai langit biru. Rambut panjang tergerai indah bermahkota. Gaun putih di tubuh tampilkan seorang putri kerajaan.
“Si.., siapakah gerangan engkau wahai putri nan jelita? Dan mengapa engkau bermuram durja sendirian di hutan lebat seperti ini ?” tanya Arkaan memberanikan diri. Si gadis nampak terkejut, namun dengan cepat mampu menguasai diri.
“Aku Dewi Rarasantang dari Kerajaan Pajajaran. Telah berhari-hari aku di sini menanti Ayahanda Prabu keluar dari persemayamannya di dalam gua di muara Sungai Cikaengan sebelah sana.” katanya sambil menunjuk ke arah perbukitan di atas. “Ayahanda Prabu berselisih paham tentang keyakinan dengan Kakanda Kean Santang sehingga beliau memilih meninggalkan istana dan merubah dirinya menjadi seekor harimau putih dan bersemedi di Leuweung Sancang* ini.” lanjutnya sambil matanya tak lepas memandang bukit di hadapannya.
“Jadi, kini aku di Leuweung Sancang Garut maksudmu? Oh ya, aku Arkaan dari Bogor.” Arkaan mengatakan itu dengan keterkejutan yang dalam. Namun, kemudian keterkejutan itu menjadi bukan hal yang menarik lagi untuk dibahas. Keanehan itu menjadi tidak penting, tergantikan oleh keingintahuannya tentang gadis itu.
Sang Dewi meneruskan perkataannya, “Aku yakin engkau dikirim Yang Kuasa untuk membantu permasalahan di antara kami di Kerajaan Pajajaran. Sebelumnya aku diberi petunjuk di dalam mimpiku bahwa suatu saat nanti aku akan bertemu dengan Sang Juru Damai di Leuweung ini. Itu semua jawaban Yang di Atas atas doa-doaku sepanjang hari sepanjang malam. Sekarang, pejamkan matamu! Jangan kaubuka sebelum ada perintah dariku. Bersiaplah untuk menembus bayang-bayang waktu!”
Ketika Arkaan memejamkan mata, terasa angin kencang menerpa sekujur tubuhnya seakan sedang menabrak arah angin. Badannya kaku dan setengah tak sadarkan diri.
***
Suara jentikan tangan yang teramat keras disamping telinganya telah menyadarkan Arkaan dari tidur yang terasa panjang. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling tempat yang asing itu. Tepat di hadapannya, sebuah jalan masuk berupa gerbang kota yang sempit dan mendaki. Di kanan kirinya terdapat parit bawah yang terjal dan dasarnya bersambung pada kaki benteng kerajaan. Setelah itu, di bagian dalam gerbang membentang lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana terdapat tujuh batang pohon beringin.
Perjalanan kemudian dilanjutkannya ke tempat arca. Terus ke Utara, lahan ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Sepengetahuan Arkaan dari internet, Bale kambang ini adalah tempat untuk bercengkrama raja dengan keluarganya. Entah dari mana Arkaan merasa sangat mengenal tempat ini dengan baik dan memahami nama setiap bangunan yang ada. Ah, ya benar mungkin dari internet. Dia sangat suka dengan sejarah.
Sampai di sini, Dewi Rarasantang mengucapkan salam dan sungkeman* kepada seorang pemuda yang gagah dan tampan yang sedang duduk di bale-bale. Entah apa yang mereka bicarakan. Kemudian Arkaan dipersilahkan masuk. Diikutinya Dewi Rarasantang ketika mengingsut menghadap seorang pemuda, yang menurut pikirannya saat itu, Raden Kean Santang.
“Ampun beribu ampun Kakanda, inilah orang yang kuceritakan tadi.” lirih suara Dewi Rarasantang sambil menghaturkan sembah. Benar saja sangkanya tadi. Ia kini sedang berhadapan dengan Raden Kean Santang yang terkenal akan kesaktian ilmunya di buku-buku sejarah sekolah.
“Apa yang bisa engkau berikan untukku, sementara engkau telah mengetahui sedikit tentang kami, orang-orang di Kerajaan Pajajaran, dari Adinda Dewi Rarasantang.” suara nan lembut berwibawa itu singgah di telinganya.
“Ampun beribu ampun, Paduka. Hamba sebenarnya tidak pantas untuk mengajari Paduka kalau bukan Paduka sendiri yang memintanya.” suaranya sangat bergetar.
“Ilmu itu bisa datang dari siapa pun, tanpa memandang derajat ataupun keturunan. Berbagilah untukku apa yang engkau ketahui.” Mendengar perkataan demikian, Arkaan membatin, adakah pemimpin seperti itu di zaman sekarang?
“Baiklah, Paduka. Setahuku, syiar Islam tidak mengenal pemaksaan terlebih kekerasan. Bukankah paman Rasulullah Muhammad SAW, Abu Thalib, juga tetap tidak mau mengikuti seruan beliau sampai akhir hayatnya? Namun demikian, beliau tetap menghormati dan berbakti padanya. Lagipula Allah menyeru dalam Quran Surat Lukman ayat 14 yang berbunyi: Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orangtuanya…. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu.” Entah darimana kekuatan itu menguatkan Arkaan untuk berbicara dengan lantang.
Untuk beberapa saat, Raden Kean Santang tertunduk dalam-dalam. Sejenak kemudian, senyum tulus tersimpul dari kedua bibirnya.
“Sebuah pengertian agung telah kaualirkan untukku. Tak ada suatu apa pun yang dengan sempurna dapat membalas rangkaian kata yang kaulantunkan untukku. Terimakasih saudaraku, semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik. Aamiin.”
“Kuhaturkan pula doa untuk Paduka. Hamba berharap Paduka dan Baginda Prabu Siliwangi mampu berdampingan memimpin tanah Pajajaran ini, sehingga rakyat yang adil, makmur gemah ripah loh jinawi mampu terwujud di tanah Parahyangan ini. Tidak mudah untuk menemukan pimpinan yang adil dan bijaksana juga memahami penderitaan rakyat kecil seperti Baginda Prabu Siliwangi.“
Setelah itu, Arkaan dan Dewi Rarasantang mohon undur diri.
***
Penat sudah otakku setelah dua jam ini bermain facebook. Kuputuskan untuk mengakhiri kegiatanku. Iseng, jemari tanganku mengarahkan mouse pada link Wikipedia. Entah angin apa yang merasuki tubuhku, dan mendorongku untuk menuliskan nama Prabu Siliwangi di kotak pencarian. Aku masih penasaran dengan menghilangnya Arkaan dua minggu belakangan ini.
Setelah kubaca beberapa riwayat hidup Prabu Siliwangi dengan berbagai versi, maka timbul suatu keyakinan pada batinku, jangan-jangan… Ya, benar! Jangan-jangan kini Arkaan ada di Garut, di wilayah Leuweung Sancang, tempat di mana harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi dan harimau loreng jelmaan pengikut setia Prabu Siliwangi bersemayam. Cepat kusampaikan kabar ini pada beberapa pihak yang berkepentingan.
***
Kami ditemani seorang guide untuk memasuki daerah Leuweung Sancang di Kecamatan Cibalong, Garut. Sebelumnya, ada beberapa ritual yang dilakukan oleh sang guide.
“Kita langsung menuju muara Sungai Cikaengan. Konon dahulu di sana ada sebatang pohon yang bernama pohon kaboa yaitu sejenis bakau yang kayunya dipercayai bisa menangkal serangan harimau. Tapi sekarang, pohon itu sudah punah akibat terjadinya reformasi di tahun 1998.” Demikian penjelasan sang guide yang belakangan diketahui namanya Ki Asep.
Jalan tanah yang terjal dengan batu-batu runcing dipadati dahan rimbun di sisinya. Sesekali, ojek pengangkut kayu melintas di jalan yang lebarnya hanya 3 meter itu. Lutung, elang, dan perkutut sesekali tampak berkeliaran di sana. Jalan itu adalah jalur yang melintasi hutan Leuweungsancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Meski pepohonan cukup padat dan masih terdapat berbagai satwa liar di hutan tersebut, kelestarian Leuweungsancang sudah sangat berubah.
"Dulu, waktu saya pertama bekerja tahun 1987, banyak macan, ular, bahkan banteng. Saat itu, Leuweungsancang sangat ditakuti. Jangankan masyarakat, polisi hutan pun segan jika hendak masuk ke hutan itu. Baru di tepi hutan saja, kami sudah bergidik. Kepercayaan itu terkait erat dengan mitos Leuweungsancang yang menyebutkan hutan ini sebagai tempat menghilangnya Prabu Siliwangi." Ki Asep menghela napas beberapa saat, untuk kemudian melanjutkan ceritanya. “Dengan keangkeran itu, Leuweungsancang justru terjaga. Namun, sejak reformasi 1998, kondisinya berubah karena pembalakan liar. Walaupun pembalakan mereda tahun 2003 dengan bantuan polisi, kesakralan Leuweungsancang dan penghormatan kepada hutan tak lagi terasa. Di sini tak lagi ditemukan banteng. Ular dan macan pun hanya sesekali terlihat.…”
Penjelasan Ki Asep mendadak berhenti demi melihat seorang penarik ojeg sedang membopong seorang remaja menuju ke arah mereka.
“Arkaan !” pekikku tertahan.
“Subhanallah…! Allah SWT Mahabesar telah melindungi anakku!” serta merta Ibu Arkaan menghambur memeluk Arkaan yang terkulai lemas.
“Tadi aku menemukannya di pinggir sungai, di bawah sebatang pohon bakau.” abang ojeg menjelaskan.
“Kaboa…” Ki Asep berseru tertahan, “Ini sulit untuk dipercaya.” lanjutnya sambil mengeleng-gelengkan kepalanya kepalanya.
***
“Bersyukurlah Arkaan, kau masih diselamatkan Allah!” kataku sesampainya kembali kami di Bogor.
“Ini menjadi pelajaran bagiku untuk tidak arogan seperti dulu lagi. Ternyata, tidak semua hal bisa dicerna dengan akal sehat. Kali ini, aku tidak ingin berbantah lagi denganmu mengenai pendirian kita terhadap mitos.” katanya menyesali diri.
Ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki wilayah Bondongan, tiba-tiba saja Arkan bergetar hebat, sekujur tubuhnya mendadak kaku.
“Itu…, itu…, di sana…ada gerbang menuju kerajaan! Namun saat itu, tak terlihat angkot-angkot hijau yang berdebu ini, toko-toko Arab, tukang jualan es doger, toge goreng ataupun roti unyil… Yang ada hanyalah sebuah gerbang masuk dengan jalan yang sempit yang kiri kanannya terdapat parit yang terjal…”
Aku terlongong-longong keheranan. Bagaimana bisa keterangan Arkaan bisa sama persis dengan informasi yang kudapatkan melalui internet.
“Bagaimana itu bisa terjadi padamu?” Kataku penasaran. Selepas Arkaan ditemukan di Garut, dia belum berani bercerit apa-apa kepada semuanya. Dan kami pun belum ada yang berani untuk mengusiknya.
“Kau tahu Hanin, bahwa ada satu tempat di mana waktu cuma bayang-bayang!”
Aku semakin tak mengerti. Biarlah Arkaan membawa kenangannya sendiri.
TAMAT
Bogor, 3 Juli 2022
Tantangan Menulis Om Jay Ke-24
Ibu Venice, terima kasih untuk tulisannya yg menginspirasi (Guru Dion Indonesia)
BalasHapusKadang2 kita perlu mencerna informasi dr kata kata orang terdahulu
BalasHapusCeritanya menarik sekali
BalasHapusMantap Bu kreeen kudungnya ,semoga sehat dan sukses selalu
BalasHapus