Kugapai Surgaku yang Hilang
Oleh: Venice Rahayu
https://nasional.tempo.co/read/716002/ada-kabut-asapburung-raptor-alami-disorientasi-bermigrasi
Nguing..., nguing..., nguing..., tubuhku berputar putar di angkasa dan..., bruuukkk! Tubuhku terhempas di teras sebuah villa yang asri. “Aww...!“ aku meringis kesakitan. Rupanya kakiku terluka. Ada tetesan darah dari sela-sela sayapku. Kaki dan tubuhku memar di sana-sini.
Antara sadar dan tidak, aku melihat seorang gadis kecil sebelas tahunan, mengenakan kaos putih dan celana jeans pendek dengan rambut berkuncir dua, berlari-lari kecil sambil memegang sebotol minuman. Hampir saja ia menginjak tubuhku. Serta-merta langkahnya terhenti saat melihat tubuhku yang penuh darah terkapar di teras villanya.
“Astagfirullahaladziim...,” pekiknya, “burung kecilku yang malang, apa gerangan yang telah menimpamu? Kenapa engkau bisa terluka seperti ini?” dengan gerakan bergegas, gadis kecil itu membawaku ke dalam istananya. Waw..., indah sekali! Lampu-lampu kristal telah mulai dinyalakan. Aku direbahkan di atas bantal berbulu tebal berwarna violet. Sesaat gadis itu menghilang, kemudian muncul kembali dengan sekotak obat-obatan di tangan. Menghilang kembali, dan kembali lagi dengan membawa mangkuk berisi air hangat. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, ia mulai membersihkan tubuhku, mengolesinya dengan obat luka, lantas membungkusnya dengan perban. Selesai.... Setelah itu, entah berapa lama aku tertidur dalam kenyamanan.
Semilir udara yang teramat sejuk membelai tubuhku dan membangunkanku dari mimpi yang buruk...!
***
“Asap...! Asap...! Asssaaap...!” suasana hutan menjadi hiruk-pikuk. Kampungku dipenuhi asap! Asap di mana–mana! Seluruh penghuni hutan menjadi panik. Semuanya mencari tempat yang aman. Aku berusaha mencari dan memanggil-manggil ibuku. Namun, asap yang begitu pekat telah mengaburkan pandanganku. Suaraku pun tertelan oleh keributan yang luar biasa. Aku terbang tak tentu arah. Pernapasanku mulai sesak. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha mencapai langit yang lebih terang.
Kurasakan sayapku mulai lemas, napasku semakin pendek. Entah sudah berapa lama aku mengepakkan sayapku. Kuputuskan untuk menukik ke bawah, dan..., bep! Aku mendarat di.... Aku tak ingat lagi, aku tak sadarkan diri!
Truk-truk berjejer mengantri keluar dari kapal. Perutku yang perih tak kuhiraukan. Aku teronggok lemas di bak belakang salah satu truk yang sedang mengantri tersebut. Untung, sewaktu terjatuh tadi tubuhku menimpa terpal bekas penutup truk. Rupanya truk ini baru saja mengirim beras, karena di sana-sini terlihat ceceran beras. Ah ya, aku harus makan dulu. Belum tentu nanti aku dapat menemukan makanan. Aku tidak boleh tidak peduli..., aku harus kuat! Kupatuk butiran beras yang berserakan dengan sepenuh hati agar kembali mendapat kekuatan.
Truk yang kutumpangi mulai menjauhi dermaga. Sepertinya aku baru saja menyeberangi lautan. Truk melaju kencang membawaku ke dunia baru yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tubuhku terayun-ayun kencang. Aku bersembunyi masuk lebih dalam berselimut terpal. “Ibu...,” lirihku pilu, “di mana engkau, Ibu...? Ya Allah, selamatkan Ibu dan saudara-saudaraku...!” airmata menetes deras membasahi pipiku.
Udaranya begitu panas. Tubuhku terasa terbakar. Kuintip dari sela-sela terpal truk, terlihat tembok-tembok yang menjulang tinggi mencapai langit. Kulongokkan kepalaku lebih tinggi lagi. Manusia begitu banyak seperti dedaunan yang berserakan di kampungku.
Tiba-tiba truk yang kutumpangi berhenti di salah satu tempat pengisian bahan bakar. Kesempatan ini aku gunakan untuk keluar dari persembunyianku.
Lama aku berputar-putar di angkasa mencari tempat yang kuinginkan. Tempat yang sejuk yang bisa membuat napasku kembali normal. Namun, setelah sekian lama, aku tak juga menemukannya. Panas..., panas..., panas di mana-mana. Apa yang telah manusia perbuat di sini?
Tubuhku melesat lebih tinggi lagi. Tapi tetap saja yang kulihat hanya tembok-tembok raksasa. Aku menjadi hilang keseimbangan. Tubuhku limbung, terhempas dari tembok satu ke tembok lainnya. Kepalaku terasa semakin pusing. Lagi-lagi..., aku kembali terkapar tak sadarkan diri.
Tuhan tak henti-hentinya menolongku. Aku menjadi malu pada-Nya. Hamba-Mu ini kerap melupakan-Mu. Dalam setiap kesenangan, sering aku lupa bersyukur, namun Engkau tak pernah lupa padaku, pada makhluk kecil yang papa ini. Maafkan aku ya, Allah!
Ketika siuman, hari menjelang sore. Tuhan menyediakan sebuah busa empuk untuk tempatku terjatuh. Busa-busa ini diangkut oleh sebuah mobil truk yang lebih kecil dari yang kutumpangi sebelumnya. Aku yakin, ini sebuah keberuntungan yang telah diatur oleh Tuhan. Banyak yang mengatakan bahwa keberuntungan tak akan datang berkali-kali, tetapi apa yang menimpaku benar-benar di luar keumuman. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar!
Sampai di sebuah kawasan, ah... sejuknya! Kuhirup udara dalam-dalam. Nikmat...! Kabut tipis menyelimuti setiap ruang indah yang aku saksikan di sana. Mobil merangkak pelan. Jalan berkelak-kelok dan mendaki. Kukepakkan sayapku, aw... perih! Kucoba sekali lagi, dan beerrr... aku terbang. Semakin jauh..., semakin jauh...
****
Suara-suara itu begitu asing bagiku. Siapa mereka? Sedikit kupicingkan mataku. “Subhanallah!” Ada banyak kaumku di sini. Dari berbagai jenis. Bergelantungan dalam sangkar emas yang begitu indah. Ada sekitar duapuluhan sangkar berukuran berbeda. Namun semuanya nampak indah dan serasi dengan keindahan alam di sekitarnya. Sebuah panorama indah menghadap gunung dari sebuah halaman belakang yang luas..., sekali.
Dan, aku sendiri ditempatkan di salah satunya. Hidangan lezat sudah tersedia di dalam sangkar emasku. Lengkap dengan air minumku. Aku kegirangan. Cepat kukepakkan sayapku, namun... prak! Tubuhku menabrak badan sangkar yang terbuat dari bambu. Ah..., kebebasan yang semu!
Semua menertawakanku.
“Mau ke mana, Kawan? Tinggallah di sini saja! Kita bisa benyanyi tralala trilili. Nona Nizami sangat memanjakan kita.” bujuk Beo mengingatkanku.
Aku teringat pada seorang gadis kecil sebelas tahunan yang telah menolongku kemarin petang. Kulihat dia sedang bernyanyi dengan riangnya sambil menyirami bunga-bunga yang bermekaran di sekeliling kolam hias yang berada di tengah-tengah kebun. Anak yang manis...!
Aku mencoba menyapa teman-temanku dengan senyuman. Tapi perih itu tetap menjalar dalam diriku. Lebih perih daripada luka di sekujur tubuhku. Pencarianku harus berakhir di kurungan. Aku tak bisa terbang bebas lagi. Tuhanku, Allah SWT, menciptakan sesuatu bukan dengan kesia-siaan. Tapi kini, tak ada lagiyang bisa kulakukan dengan sayapku.
“Ayolah, jangan murung terus seperti itu. Terkadang hidup tak dapat memilih.” seru Si Hitam mencoba mengingatkanku.
“Benar. Hidup kadang tak bisa memilih. Daripada berlarut-larut memikirkan yang sudah terjadi, bukankah lebih baik kita memikirkan hal ke depan?” tambah Si Putih.
“Ya, benar. Yang sudah terjadi tak bisa diulang kembali. Kita harus bahagia dalam setiap kesempatan. Dan hanya diri kita yang bisa mengupayakan kebahagian kita sendiri.” Beo menimpali.
“Tapi Kawan, haruskah kita diam dan menunggu nasib yang akan menimpa kita? Tidak adakah yang bisa kita upayakan? Kata ibuku, kesabaran itu tidaklah berarti selalu menerima apa yang menimpa kita tanpa berbuat apa-apa.” kataku yang tiba-tiba saja dengan cepat merasa sangat akrab dengan mereka.
“Ya, ibuku juga dulu berkata begitu. Nenekku juga mengatakan hal yang sama. Jika kita tidak berupaya, Tuhan tidak akan mengubah nasib kita. Pada dasarnya kami pun ingin terbang bebas. Tapi masih mudahkah kita mendapatkan makanan di luar sana? Salah-salah, kita malah sengsara.” kali ini Murai yang berbicara.
“Betul..., betul..., betul...!” kata semuanya.
“Sudah berbulan-bulan aku tinggal di sini. Sekarang, aku sudah terbiasa hidup di dalam sangkar. Kita syukuri saja nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita selama ini. Di sini kita hidup serba mudah, koq! Apa lagi yang kurang dari kebaikan Nona Nizami?” kata Beo lagi.
“Betul..., betul..., betul...! kata semuanya lagi.
Aku tercenung. Apa yang dikatakan teman-temanku ada benarnya juga. Tapi bayanganku tentang sebuah negeri yang indah dengan kebebasan yang nyata tetap menjadi cita-citaku. Di sini, surga itu nyata terpampang. Tinggal kebebasanku saja yang masih terbelenggu. Nona Nizami memang baik, tapi itu saja belum cukup bagiku. Lantas, apakah aku termasuk makhluk serakah?
“Tapi..., tapi...,” kataku gagap.
“Yah..., capek aku mendengar keluhan kamu! Kamu ini keras kepala dan tidak tahu diri, ya! Sebel deh aku sama kamu!” Kenari yang dari tadi diam, kini ikut bicara.
“Bukan begitu kawan. Tapi hidupku sebelum ini sungguh menakjubkan. Hutan yang indah..., sejuk..., teman-teman yang banyak, semuanya hidup harmonis. Hari-hariku selalu indah. Ibuku mengajakku berjalan-jalan menyusuri tepian hutan. Aneka makanan lezat tersedia di sana. Tubuhku sehat dan kuat karenanya. Aku menikmati karunia Allah jauh lebih banyak dari sekedar tinggal di sini. Semuanya serba sempurna. Hingga suatu saat..., kebakaran itu telah merenggut semuanya.” kali ini aku tak kuasa menahan tangisku. Dan untuk selanjutnya, dengan lancar kuceritakan tentang kisah hidupku. Tak lupa tentang pengalamanku yang mengerikan di sebuah kota dengan ratusan tembok raksasa, dan panas yang membakar. Diperkirakan, ini akibat terlalu banyaknya pohon yang ditebang. Pasti masih banyak kota lain yang serupa di dunia ini.
“Mengharukan sekali ceritamu kawan. Semoga kamu bisa bersabar. Ini ujian untukmu. Setelah kesulitan pasti akan ada kebahagian. Itu janji Tuhan kita.” Jalak Putih mencoba berempati.
“Ah, ya betul. Barangkali sekarang aku sudah lupa menggepakkan sayapku ini.” Jalak Hitam bergumam sendiri sambil mencoba mengepak-mengepakkan sayapnya. Ih..., lucu sekali!
Namun, tanpa disadari, tiba-tiba semuanya mengikuti jejak Si Hitam. Masing-masing mencoba mengepakkan sayap mereka. Gagal! Semuanya kaku! Akhirnya....
“Aku ingin BEBAS....!” koor burung sangkar pun terdengarnya sangat meriah, sampai-sampai Nona Nizami melongokkan kepalanya dan tersenyum kepada kami. Mungkin dikiranya kami sedang bernyanyi bersama.
“Jangan ngayal. Kebebasan mungkin bisa kita upayakan, tapi tak lama lagi lingkungan kita ini juga akan berubah menjadi villa-villa. Aku menguping pembicaraan ayah Nona Nizami dengan beberapa rekan kerjanya tempo hari. Jadi, hendak ke mana lagi kita mencari kebahagiaan. Tak ada lagi tempat buat kita...!” kata Beo cukup mengejutkan kami.
Hening melingkupi kami. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Kita harus mencegahnya.” kata Murai membuyarkan lamunan kami.
“Bagaimana bisa? Bukankah manusia itu makhluk yang paling sempurna dan mempunyai akal yang paling tinggi? Aku rasa kita tidak akan mampu melawan mereka.” Kenari nampak berputus asa.
“Aku yakin kita bisa. Tuhan memberikan kelebihan pada setiap makhluknya.” jawabku cepat.
“Ya, benar. Aku mempunyai kelebihan bisa berbicara menirukan perkataan manusia.” kata Beo sedikit angkuh.
“Tepat...! Kaulah kuncinya.”
“Apa? Kutahu..., kalian pasti punya rencana untuk memanfaatkan aku, ya?” katanya sambil mengerlingkan matanya kearah kami. Lucu sekali. Kami semua tertawa.
“Bukan memanfaatkan..., tapi bekerja sama, Beo!” jawabku bijak.
“Bekerja sama apa?”
“Kalian pasti tahu, Nona Nizami sangat disayang oleh Tuan Hadian. Segala permintaannya pasti akan diturut. Bicaralah dengan Nona Nizami agar dia membujuk ayahnya menghentikan proyeknya tersebut!” Si Putih menjeslaskan.
“Tapi aku sayang sama Nona Nizami. Kita meminta terlalu banyak dari dia. Pertama, membujuk dia mengagalkan rencana ayahnya. Setelah itu, kita juga meminta izin untuk kebebasan kita. Apa tidak berlebihan?” Beo agak keberatan.
Kami kembali terdiam.
“Kita minta yang pertama saja. Jangan rusak hutan kita! Setuju?” usul Beo kemudian. “Kebebasan kita biar Nona Nizami yang memutuskan. Kita sudah banyak berhutang budi padanya.”
“Oke..., setuju!” jawab kami serempak.
***
“Apakah kalian tidak senang hidup denganku? Maafkan aku.” Nona Nizami membelai kami satu per satu. “Aku sudah dapat menangkap keinginan kalian melalui celotehan-celotehan Beo kepadaku beberapa hari ini. Jangan khawatir, ayah sudah membatalkan semua rencananya. Alhamdulillah. Terimakasih atas segala keterpahaman yang telah kalian ajarkan kepada kami. Kini kami sadar. Kami telah egois terhadap alam dan makhluk Allah lainnya.” Sampai di sini, Nona Nizami berhenti berkata-kata. Raut wajahnya menggambarkan kesedihan yang mendalam.
Kami semua terdiam. Masing-masing menahan napas. Kami berkonsentrasi untuk mendengarkan perkataan Nona Nizami selanjutnya.
“Hari ini juga aku akan melepas kalian ke alam bebas. Semoga kalian berbahagia.”
Kami semua terhenyak mendengarnya. Seakan tidak percaya. Impian sudah di depan mata....
“Tapi satu pemintaanku.... Jangan pernah kalian melupakan aku! Aku teramat mencintai kalian seperti saudaraku sendiri.” air matanya bergulir di pipinya yang halus dan putih.
Hati kami teraduk-aduk antara sedih dan bahagia. Sementara itu, Nona Nizami mulai membuka satu per satu pintu sangkar kami. Dan..., BEBAS...! Terima kasih Nona Nizami...!
***
Menjelang malam, setelah seharian menikmati kebebasanku, aku rindu Nona Nizami. Kuputuskan untuk kembali ke sarangku, bermalam di sana. Betapa terkejutnya aku, ternyata kawan-kawanku sudah lebih dulu berada di sana, di sangkarnya masing-masing, dengan pintu-pintu yang terbuka lebar.
Kaget, tapi kemudian kami tertawa terbahak-bahak bersama. “Aku cinta kamu, Nona Nizami....!” koor itu kembali menggema di belakang halaman sebuah villa yang sangat indah. Milik Nona Nizami.
TAMAT
Bogor, 4 Juli 2022
Tantangan Menulis Om Jay Ke-25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar