Itu adalah Aku
Oleh: Venice Rahayu
https://www.halodoc.com/artikel/anak-juga-bisa-depresi-saat-orangtua-berpisah
Deru mesin kendaraan melingkupi suasana Buitenzorg sore itu, melaju menyusuri jalan yang penuh sesak. Lentera meredup tatkala awan hitam menutupi cahaya gemilangnya. Kemuraman mengelilingi angkasa, mengeluarkan rintik kesedihan. Terpaan angin menampar-nampar wajah naif yang berlalu menyapu dedaunan yang menyatu bersama debu. Pepohonan saling beradu, menambah kemuraman Kota Hujan di sore itu.
Seorang anak laki-laki belasan tahun duduk termenung di bawah monumen Salapan Lawang, Tugu Kujang. Tiang ala Romawi yang jumlahnya sepuluh dan setinggi 13 meter ini menjadi saksi kegalauan seorang anak manusia yang hendak mencari dunianya. Beringsut dari tempat duduknya, mata kuyunya mulai mencari-cari dari satu gazebo ke gazebo lainnya. Dia sudah membuat janji untuk saling bertemu di gazebo yang menyerupai Monumen Lady Raffles Kebun Raya Bogor ini, tepat pada pukul empat sore.
Siulan angin sore menerpa wajahnya yang kian memucat. Seragam sekolahnya kuyup sudah. Ia kembali duduk menopang dagu dengan pikiran yang melayang-layang. Ditatapnya Tugu Kujang yang ada tepat di hadapannya. Ah, tonggak itu menjadi kehilangan pamornya semenjak keperkasaannya disalip bangunan baru yang kini berdiri di sisi kanannya, Royal Amarossa Hotel.
“Fahri, semua ini Papah dan Mamah lakukan demi masa depan kamu. Tugasmu hanya belajar. Papah sudah sediakan semuanya: guru privat, sopir, tukang masak, tukang kebun, tukang cuci, dan semua yang kamu butuhkan. Kurang apa lagi?” seru sang papa. Suaranya menggelegar memantul di dinding tembok rumahnya yang besar. Si anak terdiam menunggu kata-kata selanjutnya dari papa dan mamanya.
Mereka baru pulang kerja pada malam selarut ini, dan mendapatinya sedang mengisap vape yang belakangan menjadi teman sejatinya, penopang gairah hidup, penyemangat, dan entahlah..., yang pasti segala apa yang dibutuhkannya ada padanya. Beberapa kali tamparan keras dari mamanya bahkan sempat mendarat di pipinya yang mulai tirus. Seulas senyuman yang tersungging di bibirnya rupanya membuat panas hati papahnya juga. Sebuah tamparan keras sekali lagi mendarat di pipinya yang lain. Ah, dia tetap tersenyum. Baginya, kedua nama orang tuanya hanyalah penghias sampul depan rapornya saja. Dia geli sendiri membayangkan kesimpulannya itu.
***
Kau tahu, si anak belasan tahun dalam cerita tadi adalah aku. Fahriawan Budiman. Anak kelas delapan sekolah menengah pertama favorit di kotaku. Aku cukup berprestasi di sekolah, orang tuaku kaya raya, dan menurut teman-temanku, aku tidak sombong. Semua anak laki-laki seusiaku bisa saja iri dengan keberadaanku.
Ironisnya, tak ada yang mengetahui kalau sebenarnya aku anak yang menyedihkan. Walaupun di rumah aku tidak tinggal sendiri, tapi aku kerap merasa kesepian. Kini Papah dan Mamah sering pulang larut malam. Mereka terbelenggu rutinitas pekerjaan yang menyita banyak waktu, mengambil hak atas waktu untukku, anak semata wayangnya. Sebagai istri seorang pejabat tinggi, Mamah kerap mendampingi papah. Bagiku, kekayaan tak menjamin hidup bahagia, kebahagiaan itu tidak bisa diukur oleh materi. Setiap pulang sekolah, aku merindukan mereka ada di rumah dan bisa bersenda gurau, saling berbagi pengalaman, dan shalat berjamaah di masjid ditemani Papah. Rupanya budaya masyarakat daerah penyangga ibukota yang serba sibuk ini telah menyeret kedua orangtuaku masuk ke dalam lingkaran yang membelenggu.
***
“Ini dengan Fahri?” seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuyarkan segala lamunan tentang peristiwa tadi malam. Sumringah serta-merta terpancar di wajah yang suram; sebuah kiriman online telah datang.
Masih dalam balutan hujan, kini aku sedang mendengarkan derapan kakiku menghantam jalan berbeton, menyusuri lorong yang gelap. Jembatan Sempur berbalik menatapku. Seakan terusik oleh hantaman kakiku yang menghunjam punggungnya. Di bawahnya mengalir Sungai Ciliwung dengan tenang. Aku mempercepat langkah menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bebatuan, menuju lapangan hijau bertuliskan S E M P U R sesuai dengan nama buah yang konon banyak tumbuh di sana. Menurut cerita nenekku, pohon sempur ini mempunyai buah yang bentuknya mirip dengan buah melon dalam ukuran yang relatif kecil, dan rasa buahnya mirip seperti jambu air.
Di sebuah sudut taman, segerombolan remaja dengan langit-langit sekitar dipenuhi kepulan asap rokok, samar-samar terlihat. Salah satu tangan dari mereka melambai-lambai di udara, memanggilku. Mereka adalah kawan-kawan medsos-ku. Kami saling mengenal melalui instagram. Kami dipersatukan melalui kegemaran yang sama. Bersenda gurau sembari mengisap vape, membuatku melupakan rasa sepi yang menjerat batinku dengan berkumpul bersama-sama seperti ini.
Tepat pukul 22.00 WIB. Waktu kunjungan di Sempur sudah berakhir. Seulas senyum tersungging dari wajahku. Betapa bahagianya aku hari ini. Papa dan mamaku bisa jadi sudah berada di rumah, tapi aku tak pernah merasa takut. Paling-paling tamparan keras lagi. Dan, itu sudah teramat biasa bagiku.
Sebuah mobil bertuliskan KPK melaju kencang melewatiku, merusak semburat ketenangan yang alam berikan malam itu. Seorang koruptor biadab akan tertangkap malam ini, batinku. Aku benci sekali dengan koruptor, perampok berdasi! Zaman sekarang, media-media informasi telekomunikasi terlalu banyak mempengaruhi masyarakat dengan kehidupan glamour para public figure negeri ini. Artis, pengusaha, dan pejabat semuanya saling pamer gaya hidup mewahnya. Setiap hari mata, telinga, dan hati rakyat Indonesia dijejali dengan berita kemewahan mereka. Racun. Korupsi akhirnya menjadi wabah mengerikan di negeri ini. Suap merajalela. Aku tak habis mengerti, bagaimana bisa orang-orang yang mengaku dirinya pintar ini menukar akhirat dengan kepuasan di dunia...! “Ah, aku mulai pintar menghakimi orang. Aku sendiri...?” gumamku. Diam-diam aku tersenyum getir.
Kakiku berhenti di sebuah gapura besar serba putih dengan pintu gerbang yang..., aku terbelalak kaget. Kudapati segel merah hitam menyilang di pintu gerbang, bertuliskan DISEGEL KPK. Gemetar, kuintip melalui celah fiber yang tak rapat ke dalam rumahku. Sepi. Pintu rumah berhiaskan segel yang sama. Aku terpaku.
Semilir angin merasuki tubuhku. Pelan tapi pasti aliran dingin itu menjalari sela-sela persendian tulangku, merambat dengan cepat hingga menguasai rongga dadaku. Aku mulai panik. Asmaku mulai sering kambuh semenjak aku mengakrabi vape. Vape menjadi persoalan dilematis bagiku.
Bertetes-tetes peluh membanjiri kening, mengaliri wajahku. Aku nyaris tidak bisa bernapas. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, mengerahkan sepenuhnya tenaga untuk bisa memaksa oksigen masuk ke dalam rongga paru-paruku. Setiap helaan napasku adalah perjuangan yang panjang.
“Tolong,” berkali-kali aku berusaha berteriak, walau kusadari teriakanku nyaris berbentuk lenguhan semata. Aku menggelepar tak berdaya di depan pintu gerbang. Dadaku kian terasa nyeri. Aku terkulai lemas. Gelap. Semua menjadi gelap dalam satu kejapan mata. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku menyerah.
Lamat, aku mendengar derap-derap langkah yang mendekat. “Allahu Akbar.” bergetar bibirku membisikkan nama-Nya. Suasana yang tercipta malam itu membuatku merasa bukan siapa-siapa di hadapan-Nya.
TAMAT
Bogor, 6 Juli 2022
Tantangan Menulis Om Jay Ke-27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar