Minggu, 10 Juli 2022

Kidung Cinta 31

 Cinta Kedua

Oleh:  Venice Rahayu

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220216092135-37-315720/kacau-penduduk-20-negara-ini-kecanduan-smartphone-ada-ri


    Terlalu malas untuk berambisi. Jatuh tak mau, berjuang pun tak mampu. Terjebak dalam imajinasi. Nyaman dalam zona yang terlihat aman, namun menyembunyikan bahaya yang senantiasa mengintai. Imajinasiku takkan habis walau dimusnahkan, karena sesuatu yang masuk akal datang dari imajinasi yang terpaut dalam pikiran.

Dengarlah. Aku, gadis biasa yang imajinatif. Kerap berhalusinasi bersama pemikiran. Setidaknya, fantasiku menguatkan yang rapuh, alihkan lara menjadi tawa, wujudkan mimpi dan satukan raga. Semua dimulai ketika aku mulai tergila-gila dengan gawai. Ya, itu kau. Yang selalu ada bersamaku kini. Yang kian hari kian kucintai. Mungkin kau takkan percaya. Ini adalah cinta keduaku, karena cinta pertamaku adalah buku.

Sang Milenial yang kini sedang bernapas, bermalas-malasan tak karuan mencari ilham dalam gawai. Cinta yang kini kian tumbuh membuatku semakin tidak normal saja. Makan, malas. Mandi, malas. Disuruh tidur, susah. Disuruh bangun, susah. Fantasiku menyatu denganmu.

Sering aku berusaha hidup dalam nyata. Namun, sekelilingku seolah tanpa nyawa. Untuk apa kau hidup dalam dunia yang nyatanya mati. Kelas sepi dari pertanyaan saat guru mengajar. Jam istirahat pun senyap. Tak ada canda tawa beriringan menuju kantin, karena kini kantin pun tak lagi punya ruh. Kamu makin menjadi candu yang nampak syahdu namun menusuk.

Sekelebat cahaya menerawang jendela di sampingku terduduk. Disusul geledek yang mengerang bersama hujan yang kini mulai menderu. Lara hati sang mentari akhirnya melebur. Bersatu dengan semangat angin yang meluapkan emosi menjadi badai yang mengerikan. Ragaku kembali terombang-ambing, terbawa suasana. Kegetiran dan kegelisahan tampak nyata. 

Aku merogohmu dengan tangan gemetar. Menyembunyikan takut yang kaurasakan dengan bercengkrama bersamamu. Ingin meninggalkanmu, tapi engkau sangat berarti. Engkau paling tahu siapa aku. Engkau paling tahu apa yang kumau. Karenamu semua temanku tak butuh teman. Aku pun begitu saja agar semuanya nampak baik-baik saja.

Aku tahu kau punya arti. Mengubah fantasi menjadi bukti. Suatu saat, aku akan memecahkan sihirmu. 

TAMAT


Bogor, 10 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Hari Ke-31


Sabtu, 09 Juli 2022

Kidung Cinta 30

 Di Saat Malam Penuh Takbir

Oleh:  Venice Rahayu

 

https://id.pngtree.com/freepng/woman-muslim-characters-play-handphone_6335670.html


    Detak jam terasa sangat lamban. Aku terbenam dalam selimut yang kadang kutarik sampai leher, kadang pula kutendang dengan ujung jari kakiku karena kegerahan. Sementara senandung takbir masih mengalun merdu dari masjid-masjid terdekat rumahku. Bersahut-sahutan.

    Kepalaku yang terasa sakit, memaksaku kembali memejamkan mata. Namun, sia-sia. Mimpi itu terasa begitu nyata. Bayangan Bapak tak mampu menghilang dari pelupuk mataku. Maka, kusibak selimutku dan turun perlahan dari ranjang. Kupastikan tak menimbulkan suara sekecil apa pun.

    Perutku terasa sedikit lapar. Kuberingsut ke dapur. Segelas susu hangat dapat membuat perut lebih kenyang di samping ampuh membantu tidur nyenyak. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. 

    Alih-alih kembali ke kamar, aku malah tertarik untuk membuka gawai sambil menunggu susu menjadi hangat. Masih terlalu panas untuk langsung kuminum. Kuikuti takbir dengan perasaan yang mengharu biru. Mamah, maaf aku tidak pulang Lebaran Haji tahun ini.

    Begitu saja terlintas dalam benakku untuk menceritakan mimpiku ini melalui voice note. Biarlah besok pagi Mamah dapat langsung mendengarkannya. Kusandarkan punggung di sofa ruang tamu, mencari posisi paling rileks untuk memulai merangkai kata demi kata.

***

Assalamualaikum. Sehat-sehat terus ya, Mah. 

    Mah, aku bertemu Bapak dalam mimpiku malam ini. Bapak membangunkanku. Mimpi itu seperti nyata. Bapak menggoyang-goyangkan kakiku, dan memanggil-manggil namaku pelan. Seperti kebiasaannya saat membangunkanku untuk shalat malam. Bapak mengenakan koko putih kesayangannya dengan sarung kotak coklat dan peci hitam beludru. Wajahnya bersih dan matanya bening. 

    Kulihat jam, ternyata masih pukul satu dini hari. Masih terlalu pagi Bapak membangunkanku. Biasanya pukul dua. Bapak terlalu bersemangat ya, Mah.

    Mamah masih ingat kan, aku biasa shalat di samping Bapak. Tapi aku sering ketiduran setelahnya. Bangun-bangun saat mendengar adzan Subuh. Nah, ini saat paling menyenangkan. Mamah pasti sudah menyediakan sarapan. Harumnya menyeruak memenuhi setiap sela ruangan rumah kita. Wangi bawang putih dan bawang merah yang digoreng menggelitik hidung adik-adik yang masih tidur. Kita duduk berenam mengelilingi meja makan. Mamah selalu duduk di sebelah kanan Bapak dan sibuk melayani Bapak. Bapak kerap memuji masakan Mamah. Bapak selalu makan di rumah. Di luar katanya gak ada yang seenak masakan Mamah. 

    Hal lainnya yang masih jelas di ingatanku, yakni saat Mamah menyediakan baju seragam Bapak. Hasil setrikaan Mamah selalu yang paling rapi. Bapak nampak gagah dengan seragam biru telor asin dan celana biru tua khas TNI Angkatan Udara. Mamah juga mengatur wing yang bertengger di dada Bapak agar tidak miring. Sepatu Bapak juga sudah mengkilap setelah sebelumnya Mamah gosok dengan cairan khusus. Kini Bapak siap untuk berangkat. Mamah mengantarnya sampai teras. Itu pemandangan yang biasa kusaksikan setiap pagi. Aku rindu masa-masa itu.

    Mah, di usiaku yang juga kini sudah setengah abad, aku ingin meniru banyak hal dari Mamah. Terutama soal ketelatenan Mamah dalam melayani Bapak. Mamah bukan jenis ibu rumah tangga yang senang menghambur-hamburkan uang suami untuk shopping ataupun kesenangan sendiri. Mamah pandai menabung. Saat Bapak kesulitan finansial, mamah siap dengan solusi. Aku tahu sekarang, Mah. Mengapa Bapak selalu tampak sehat dan bahagia sampai tua. Karena Mamah sudah mendampinginya dengan sangat baik. Membantu segala yang Bapak butuhkan. Ternyata itu tidak mudah ya, Mah.

    Mah, ajari aku bersolek juga ya. Aku iri, Mamah selalu tampil cantik di usia tua. Dari muda Mamah memang paling getol dandan dan berolah raga. Mama kerap memakai seragam khusus untuk senam di rumah dr. Hadis. Mamah juga les kecantikan, les menjahit, les memasak. Aku sekarang sibuk mengajar, Mah. Apa yang biasa Mamah lakukan tak mampu aku lakukan. Mamah hebat.

    Mah, kita doakan semoga Bapak bahagia di sana. Dan aku berharap Mamah pun selalu bahagia. Terima kasih sudah menginspirasi hidupku. Mamah dan Bapak pasangan hebat yang menjadi teladan bagiku dalam mengarungi samudera luas kehidupan ini. Selamat beristirahat. 

    Selamat merayakan Hari Raya Idul Adha. Mohon maaf lahir batin.

***

    Penggalan-penggalan voice note telah kukirim. Susu telah habis kuminum. Waktu menunjukkan pukul dua. Saat kantuk menyerang, kuputuskan untuk tidak tidur. Aku bergegas mengambil wudu. 


TAMAT


Bogor, 9 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Hari Ke-30


Jumat, 08 Juli 2022

Kidung Cinta 29

 Rinduku di Tirai Masa

Oleh:  Venice Rahayu

https://www.catataninspira.com/2020/08/lelaki-di-seberang-jalan.html


    Cuaca dingin dan hujan pada suatu hari di bulan Juni ketika bus yang membawaku ke Bogor harus istirahat di tempat pengisian bahan bakar. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk keluar dan menuju kamar kecil. 

    Saat kembali ke dalam bus, anak-anakku masih tertidur pulas. Kusandarkan punggungku yang mulai pegal dan kuselonjorkan kakiku. Dengan cepat kuraih kembali ponsel dari dalam tasku. Namun lagi-lagi aku harus kecewa. Sudah sejak pagi aku mencoba menghubunginya, namun tetap saja panggilanku tak mendapat jawaban. Sungguh tidak biasa!

***

    Suamiku sudah tiga hari pelatihan di Lembang, Bandung. Sementara, waktu itu kami sedang menikmati liburan awal Ramadhan bersama orang tua dan keluarga di kampung halaman. Baru sehari di sana ketika surat tugas itu datang. Aku sedikit keberatan mengingat liburan ini adalah momen paling dinanti. Orang tuaku belum puas melepas rindu.

    “Bapak perlu ilmunya, Bu.  Ini bagus.”  katanya waktu itu.  Kalau sudah begini, aku mau bilang apa. Suamiku sangat bersemangat untuk mengikuti pelatihannya.

    Saat aku terbangun untuk menunaikan ibadah sahur, aku melihatnya sudah rapi, sedang menyisir rambutnya yang kelimis.  Bau harum sabun mandi semerbak dari tubuhnya.

    Bergegas aku bangkit dari tempat tidur. 

    “Bapak sudah siap? kataku sambil membetulkan sanggulan rambutku yang sedikit berantakan. Seketika mataku tertuju pada sandal baru yang kusiapkan untuk dipakai pada saat Lebaran nanti. “Sandalnya pakai yang baru saja, Pak.” lanjutku sambil menyodorkan sandal barunya.

    “Buat nanti saja Lebaran.” tampiknya sambil menyimpan kembali sandalnya ke tempat semula. Ah, laki-laki selalu begitu. Belum ganti jika belum rusak betul.. 

    “Hati-hati, Pak. Kalau sudah sampai beri kabar, ya!”  kataku saat memberi salam.

    “Nanti Bapak telpon!” katanya. Aku mengangguk. Mobil pun melaju di jalanan licin setelah semalaman diguyur hujan deras. Bergegas aku masuk kembali ke dalam rumah. Hari masih gelap.

***

Adzan magrib berkumandang. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Kalau bukan karena ada rapat besok, sebenarnya aku masih ingin menikmati liburanku di kampung. Waktu liburan masih tersisa. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang bersama anak-anak menggunakan kendaraan umum. “Hati-hati ya. Nanti Bapak telpon.” demikian ucapnya saat aku meminta izin.

    Handphone-ku tiba-tiba berdering. Aku hanya meliriknya sekilas. Aku tak berniat mengangkatnya. Lagi pula aku masih belum menyelesaikan makanku. Di samping itu, aku juga masih kesal sebab seharian ini suamiku tak menelponku sesuai janjinya. Kutelpon berkali-kali pun tak diangkatnya. Sesibuk itukah? Padahal aku ingin bercerita tentang banyak hal tentang aku dan anak-anak di sepanjang perjalanan. 

    Kembali nada panggilan berdering panjang. Dengan terpaksa kuangkat juga. Namun, apa yang kudengar bukanlah sesuatu yang siap kudengar. Semuanya sudah berakhir. Kisah perjalanan itu pada akhirnya tak pernah sampai. 

TAMAT


Bogor, 8 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-29


Kamis, 07 Juli 2022

Kidung Cinta 28

 Masa Itu Akan Datang

Oleh:  Venice Rahayu

 

https://www.pustakajc.co/pendidikan/view/471/tips-menulis-cerpen-untuk-pemula?halaman=all

    “Penulis itu kerjaan sampingan aja, Sya. Nggak bisa diseriusin. Selain kerjaannya nggak pasti, uangnya juga kecil. Mendingan kamu belajar jadi businesswoman yang baik aja, biar nanti bisa nerusin perusahaan Papa.” ucap Mama ketika Nasya mengutarakan cita-citanya untuk menjadi penulis saat ia masih duduk di bangku kelas 3 SD waktu itu. Nasya yang penuh semangat tatkala itu seketika menunduk.

    Sore itu, Nasya termenung beberapa saat dan memejamkan matanya, menyandarkan dirinya dalam buaian mimpi-mimpi indah tentang cita-cita dan masa depan. Karena hanya di dalam mimpilah, Nasya bisa bebas merangkai cerita yang takkan terjamah oleh idealisme Mama dan Papa.

***

    “Ini apa, Nasya?” tegur Sang Papa agak keras saat Nasya sedang mempelajari soal-soal Penilaian Tengah Semester di depan komputer kamarnya. Nasya berbalik dan melihat Papa membawa tabletnya, menyodorkannya di depan Nasya, dan terpampang blog tempat Nasya selama ini menuangkan tulisannya.

    “Masih juga menulis?”

    “Nasya senang menulis. Bisa untuk refreshing buat Nasya. Orang-orang memberi comment positif tentang cerita Nasya. Nasya banyak belajar dari situ, Pa.” jelas Nasya pelan, sembari memperhatikan perubahan raut muka Papa. Papa menghela napas panjang.

    “Tapi ini penyia-nyiaan waktu, Sya. Kamu tuh sekarang udah SMA, udah mau kelas dua belas, masih saja main-main nulis cerita. Kamu udah harus serius belajar jika mau masuk jurusan favorit!” 

    Nasya terdiam beberapa saat, tidak bisa dan tidak ingin menjawab. Semakin Nasya menyangkal dan memberi alasan, semakin Papa akan menyudutkan dan mematahkan semua argumen yang Nasya bangun. Maka Nasya lebih memilih untuk membisu.

    Nasya menatap kosong layar komputer. Perlahan Nasya membuka link blognya dan membaca satu per satu komentar dari orang-orang yang singgah dan membaca cerita-ceritanya.

    “Ceritanya keren bangettt! Pembangunan plotnya bener-bener diperhitungkan dengan baik.  Semangat teruss!” –astriaaa1212

    “Kamu keren banget author! Aku harap karya-karya kamu di sini bisa dibukukan. Kalau ya, aku bakal jadi pembeli nomor satu! Terus semangat berkarya ya, Author kesayangan aku!” –blabella

    Nasya terus membaca satu per satu komentar yang tertera pada dinding blog dengan tergugu. Mengapa Papa dan Mama melihat hobiku adalah kesia-siaan?

***

    “Eh, kamu udah beli novel Rinduku di Tirai Masa belum? Yang diangkat dari cerita blog author bluejasmine!” tak sengaja Nasya menangkap sepotong percakapan dua orang adik kelasnya ketika ia sedang mengembalikan buku perpustakan ke raknya kembali.

    “Udah! Aku kemarin nggak kebagian pre-order gelombang pertamanya, jadi ikut yang gelombang ketiga. Ini juga udah stok terakhir banget, untung dapat.” ujar siswi berambut coklat menjawab pertanyaan temannya.

    "Bener banget sih, dari dulu bluejasmine emang penulis favoritku. Apalagi pas dia bikin cerita yang set-nya fantasi modern kayak gini. Waktu Dimas ditinggal sama Putri Nawang Wulan itu sedihnya kerasa banget. Dia tuh selain jago bikin storyline jago banget juga di permainan diksinya. Diksinya tuh selalu menyentuh hati.”

    “Tapi kenapa dia pake nama pena ya? Kan kita pengen tahu juga bluejasmine itu kayak gimana.”

    “Tapi kalau penulis emang gitu kan? Biar ada aura misterinya, hahaha. Sama biar orang-orang nggak terlalu terfokus sama profil dia kayaknya, biar fokus sama tulisannya aja. Lebih objektif jadinya.”

    Nasya tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka. Alhamdulillah mereka menyambut baik novel pertama kebanggaannya. Andai saja mereka tahu, kalau author bluejasmine ini harus benar-benar menyembunyikan setiap file dari cerita yang ia buat, agar tidak terakses oleh Mama dan Papanya. 

    Yah, mungkin ada kepingan cerita tentang masa depan yang belum Nasya ketahui saat ini. Tuhan telah mengatur setiap liku perjalananan hidup setiap manusia di dunia. Tak ada keberhasilan tanpa kendala. Dan Nasya yakin, apapun yang terjadi, Tuhan telah menyiapkan rencana yang indah untuknya. 

    “Akan ada masanya Mama dan Papa bangga padaku.” senyuman Nasya mengakhiri cerita di hari itu.

TAMAT


Bogor, 7 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-28


Rabu, 06 Juli 2022

Kidung Cinta 27

 Itu adalah Aku

Oleh:  Venice Rahayu

 

https://www.halodoc.com/artikel/anak-juga-bisa-depresi-saat-orangtua-berpisah

    Deru mesin kendaraan melingkupi suasana Buitenzorg sore itu, melaju menyusuri jalan yang penuh sesak. Lentera meredup tatkala awan hitam menutupi cahaya gemilangnya.  Kemuraman mengelilingi angkasa, mengeluarkan rintik kesedihan. Terpaan angin menampar-nampar wajah naif  yang berlalu menyapu dedaunan yang menyatu bersama debu. Pepohonan saling beradu, menambah kemuraman Kota Hujan di sore itu. 

    Seorang anak laki-laki belasan tahun duduk termenung di bawah monumen Salapan Lawang, Tugu Kujang. Tiang ala Romawi yang jumlahnya sepuluh dan setinggi 13 meter ini menjadi saksi kegalauan seorang anak manusia yang hendak mencari dunianya. Beringsut dari tempat duduknya, mata kuyunya mulai mencari-cari dari satu gazebo ke gazebo lainnya.  Dia sudah membuat janji untuk saling bertemu di gazebo yang menyerupai Monumen Lady Raffles Kebun Raya Bogor ini, tepat pada pukul empat sore.

    Siulan angin sore menerpa wajahnya yang kian memucat. Seragam sekolahnya kuyup sudah. Ia kembali duduk menopang dagu dengan pikiran yang melayang-layang. Ditatapnya Tugu Kujang yang ada tepat di hadapannya. Ah, tonggak itu menjadi kehilangan pamornya semenjak keperkasaannya disalip bangunan baru yang kini berdiri di sisi kanannya, Royal Amarossa Hotel.

    “Fahri, semua ini Papah dan Mamah lakukan demi masa depan kamu. Tugasmu hanya belajar. Papah sudah sediakan semuanya: guru privat, sopir, tukang masak, tukang kebun, tukang cuci, dan semua yang kamu butuhkan. Kurang apa lagi?”  seru sang papa. Suaranya menggelegar memantul di dinding tembok rumahnya yang besar. Si anak terdiam menunggu kata-kata selanjutnya dari papa dan mamanya.  

    Mereka baru pulang kerja pada malam selarut ini, dan mendapatinya sedang mengisap vape yang belakangan menjadi teman sejatinya, penopang gairah hidup, penyemangat, dan entahlah..., yang pasti segala apa yang dibutuhkannya ada padanya.  Beberapa kali tamparan keras dari mamanya bahkan sempat mendarat di pipinya yang mulai tirus. Seulas senyuman yang tersungging di bibirnya rupanya membuat panas hati papahnya juga. Sebuah tamparan keras sekali lagi mendarat di pipinya yang lain.  Ah, dia tetap tersenyum.  Baginya, kedua nama orang tuanya hanyalah penghias sampul depan rapornya saja. Dia geli sendiri membayangkan kesimpulannya itu.

***

    Kau tahu, si anak belasan tahun dalam cerita tadi adalah aku. Fahriawan Budiman. Anak kelas delapan sekolah menengah pertama favorit di kotaku. Aku cukup berprestasi di sekolah, orang tuaku kaya raya, dan menurut teman-temanku, aku tidak sombong. Semua anak laki-laki seusiaku bisa saja iri dengan keberadaanku.

    Ironisnya, tak ada yang mengetahui kalau sebenarnya aku anak yang menyedihkan.  Walaupun di rumah aku tidak tinggal sendiri, tapi aku kerap merasa kesepian.  Kini Papah dan Mamah sering pulang larut malam. Mereka terbelenggu rutinitas pekerjaan yang menyita banyak waktu, mengambil hak atas waktu untukku, anak semata wayangnya. Sebagai istri seorang pejabat tinggi, Mamah kerap mendampingi papah. Bagiku, kekayaan tak menjamin hidup bahagia,  kebahagiaan itu tidak bisa diukur oleh materi.  Setiap pulang sekolah, aku merindukan mereka ada di rumah dan bisa bersenda gurau, saling berbagi pengalaman, dan shalat berjamaah di masjid ditemani Papah.  Rupanya budaya masyarakat daerah penyangga ibukota yang serba sibuk ini telah menyeret kedua orangtuaku masuk ke dalam lingkaran yang membelenggu.

***

    “Ini dengan Fahri?” seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuyarkan segala lamunan tentang peristiwa tadi malam. Sumringah serta-merta terpancar di wajah yang suram; sebuah kiriman online telah datang.

    Masih dalam balutan hujan, kini aku sedang mendengarkan derapan kakiku menghantam jalan berbeton, menyusuri lorong yang gelap.  Jembatan Sempur berbalik menatapku. Seakan terusik oleh hantaman kakiku yang menghunjam punggungnya.  Di bawahnya mengalir Sungai Ciliwung dengan tenang.  Aku mempercepat langkah menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bebatuan, menuju lapangan hijau bertuliskan  S E M P U R  sesuai dengan nama buah yang  konon banyak tumbuh di sana.  Menurut cerita nenekku, pohon sempur ini mempunyai buah yang bentuknya mirip dengan buah melon dalam ukuran yang relatif kecil, dan rasa buahnya mirip seperti jambu air. 

    Di sebuah sudut taman, segerombolan remaja dengan langit-langit sekitar dipenuhi kepulan asap rokok, samar-samar terlihat.  Salah satu tangan dari mereka melambai-lambai di udara, memanggilku.  Mereka adalah kawan-kawan medsos-ku.  Kami saling mengenal melalui instagram. Kami dipersatukan melalui kegemaran yang sama.  Bersenda gurau sembari mengisap vape, membuatku melupakan rasa sepi yang menjerat batinku dengan berkumpul bersama-sama seperti ini.  

    Tepat pukul 22.00 WIB.  Waktu kunjungan di Sempur sudah berakhir. Seulas senyum tersungging dari wajahku.  Betapa bahagianya aku hari ini.  Papa dan mamaku bisa jadi sudah berada di rumah, tapi aku tak pernah merasa takut.  Paling-paling tamparan keras lagi.  Dan, itu sudah teramat biasa bagiku. 

    Sebuah mobil bertuliskan KPK melaju kencang melewatiku, merusak semburat ketenangan yang alam berikan malam itu. Seorang koruptor biadab akan tertangkap malam ini, batinku.  Aku benci sekali dengan koruptor, perampok berdasi!  Zaman sekarang, media-media informasi telekomunikasi terlalu banyak mempengaruhi masyarakat dengan kehidupan glamour para public figure negeri ini.  Artis, pengusaha, dan pejabat semuanya saling pamer gaya hidup mewahnya.  Setiap hari mata, telinga, dan hati rakyat Indonesia dijejali dengan berita kemewahan mereka.  Racun.  Korupsi akhirnya menjadi wabah mengerikan di negeri ini. Suap merajalela.  Aku tak habis mengerti, bagaimana bisa orang-orang yang mengaku dirinya pintar ini menukar akhirat dengan kepuasan di dunia...!  “Ah, aku mulai pintar menghakimi orang.  Aku sendiri...?”  gumamku.  Diam-diam aku tersenyum getir.  

    Kakiku berhenti di sebuah gapura besar serba putih dengan pintu gerbang yang..., aku terbelalak kaget. Kudapati segel merah hitam menyilang di pintu gerbang, bertuliskan DISEGEL KPK.  Gemetar,  kuintip melalui celah fiber yang tak rapat ke dalam rumahku.  Sepi.  Pintu rumah berhiaskan segel yang sama. Aku terpaku.

    Semilir angin merasuki tubuhku. Pelan tapi pasti aliran dingin itu menjalari sela-sela persendian tulangku, merambat dengan cepat hingga menguasai rongga dadaku. Aku mulai panik. Asmaku mulai sering kambuh semenjak aku mengakrabi vape. Vape menjadi persoalan dilematis bagiku. 

    Bertetes-tetes peluh  membanjiri kening, mengaliri wajahku. Aku nyaris tidak bisa bernapas. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, mengerahkan sepenuhnya tenaga untuk bisa memaksa oksigen masuk ke dalam rongga paru-paruku.  Setiap helaan napasku adalah perjuangan yang panjang.  

    “Tolong,”  berkali-kali aku berusaha berteriak, walau kusadari teriakanku nyaris berbentuk lenguhan semata. Aku menggelepar tak berdaya di depan pintu gerbang.  Dadaku kian terasa nyeri.  Aku terkulai lemas.  Gelap.  Semua menjadi gelap dalam satu kejapan mata.  Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.  Aku menyerah. 

    Lamat, aku mendengar derap-derap langkah yang mendekat.  “Allahu Akbar.” bergetar bibirku membisikkan nama-Nya. Suasana yang tercipta malam itu membuatku merasa bukan siapa-siapa di hadapan-Nya.

TAMAT


Bogor, 6 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-27


Kidung Cinta 26

 Ada Satu Tempat di Mana Waktu Cuma Bayag-Bayang

Oleh:  Venice Rahayu

 

https://www.mapel.id/kerajaan-pajajaran/


Ini semua sebenarnya apa? Apakah aku sedang berkhayal, ataukah ini nyata?

    Dalam resah yang menelikung, kuputuskan untuk menuangkan segala yang kualami ini. Diiringi irama malam, aku menari bersama tuts-tuts keyboard laptopku, beriring daun pakis yang memetikkan jemarinya pada gitar angin, juga kerikil-kerikil bisu yang menyertai sepi. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, meluncur deras mewakili semua yang melayang di ranah pikirku, terus bergulir memenuhi benakku. 

***

    Penat sudah otakku setelah dua jam berpetualang di instagram. Kuputuskan untuk mengakhiri kegiatanku, teringat tugas yang belum kurampungkan. Namun, detik berikutnya kuurungkan juga karena tiba-tiba saja aku teringat perbincanganku di sekolah tadi tentang Bogor di masa lalu. Kuarahkan mouse pada google dan kutuliskan 'Benteng Pajajaran' di kotak pencarian. Bersamaan saat kutekan tombol search, tiba-tiba sepi meledak. Detik berikutnya kegelapan total menyelimutiku. 

    Kurasakan kepanikan menyergap, menghentikan aliran nafas ke tenggorokan, membuatku tersengal sesak. Untuk sepersekian detik, kehampaan menguasaiku. Lambat namun pasti, perlahan-lahan gelap berarak pergi, meninggalkan kenangan yang disisipkan kepada awan yang datang. Secercah cahaya mulai berdatangan, hantarkan waktu pada permulaan yang indah. 

    Deru sungar sangat dekat di telingaku. Hembusan angin mengggelitik helai rambut dan pakaianku. Mataku masih sulit terbuka ketika sayup-sayup kudengar senda gurau paragadis dalam bahasa Sunda yang sebagian besar sulit kumengerti. Dengan susah payah aku membuka mata, dan kudapati banyak sekali pohon buah-buahan di sisi kanan dan kiri, berjajar-jajar dengan rapi. Menakjubkan. 

    Aku terlongong-longong mendapati diriku teronggok lemas di bawah rerindangan. Dingin menyeruak menelusup ke pori-pori kulitku. Wangi kayu berbaur wangi buah sedemikian menyeruak memenuhi rongga udara yang berkabut, menambah kesejukan dan kesegaran yang belum permah aku rasakan sebelumnya. Sementara gerimis tipis menambah ketakziman suasana yang tercipta. Seluruh alam berdzikir menyebut nama-Nya. Menembus gumpalan kabut, pandanganku tertumpu pada segerombolan gadis dengan pakaian khas bangsawan Sunda sedang berebut memetik buah-buahan nan ranum, memecah kesyahduan pagi yang memukau. 

    Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam aku ikut berkelana di dalamnya, menikmati sepuas-puasnya segala kenikmatan yang ditawarkan dalam buana misterius ini. Entah berapa lama aku terperangkap dalam pesona alam dan suasana yang hanya bisa kulayari melalui buku-buku dongeng milikku sewaktu kecil ini. 

    Aku masih terbius dalam ketakjuban yang dalam, ketika tiba-tiba semburat cahaya menyilaukan menyergap tepat di manik mataku. Aroma wangi tersebar saat pemilik senyum yang indah penuh wibawa mengusap keningku. Tubuhku terasa ringan, lalu melayang. Seperti terhempas ketika aku sampai di sini, tergolek di sebelah laptopku, di dalam kamarku. 

    Masih dalam tanya, kucoba membaca cahaya yang semakin jingga dan mengusung malam. Tiba-tiba aku begitu takut menghadapi malam. Takut membayangkan aku terperangkap dalam kelam. Sementara hujan di luar makin menderu. Akhirnya, kulayarkan sajadah. Kuselesaikan sujud hingga menjelang malam, berharap detik-detik jam yang bergayutan mampu menghabiskan keresahanku. 

    Dalam kegamangan yang dasyat, kuraih laptopku kembali. Melanjutkan bayang-bayang yang kian merasuki hati. “Sreeeettt....!!!” mataku menangkap sebuah judul menarik suatu laman website dari beratus ratus laman hasil pencarian yang dimunculkan google: Ironi Tajuragung, perkebunan Kerajaan Pajajaran yang kini menjadi lahan Pabrik Unitex.

    Waktu telah memutarkan lakon-lakon dalam putaran yang amat cepat. Segalanya telah berubah. Tempatku kini penuh pabrik dan limbah. Kendaraan umum dan pribadi menambah daftar polusi Bogorku yang dulu permai. Pedih manakala Bogor mendapat julukan ‘Kota Seribu Angkot’. 

    Petualanganku di dunia maya kuakhiri manakala lonceng di ruang tengah berdentang sebelas kali. Saatnya aku memberi ruang pada tubuhku untuk segera beristirahat. Malam merambat menaiki puncaknya. Sementara ruh-ruh mengembara meninggalkan jasad.

***

    Sebuah kereta api bawah tanah berkecepatan tinggi melintas di hadapanku. Seperti sebuah piston pompa udara, kereta melesat memasuki terowongan dengan kecepatan 1080 km per jam tanpa turbulensi. Model kereta yang futuristik, mencangkok teknologi dari zaman Romawi, yakni prinsip katapel panah yang digunakan 2000 tahun lalu. Panjangnya sekitar 400 meter, tapi berkapasitas penumpang dua kali lebih banyak.

    Bagaimana aku bisa sampai di sini, itulah yang sedang kupikirkan sekarang. Suguhan peradaban dan panorama alam yang begitu eksotis terpapar di sepanjang jalan menuju stasiun. Air terjun yang begitu indah di antara tebing-tebing, pusat peradaban kota yang maju. Kuremas-remas jemariku menatap lalu-lalang orang-orang dengan kesantunan yang tinggi. Mereka saling memberi salam dengan siapa pun yang berpapasan. Raut wajah mereka menunjukkan ketenangan cerminan kebahagiaan.

    Sesuatu di lenganku tiba-tiba menyala, ungu. Benda apa pula ini? Sebuah gelang dengan manik-manik hitam sebelas buah. Di setiap maniknya ada tulisan yang tak kumengerti. Baru kusadari kalau orang-orang di sekitarnya menggunakan gelang yang sama. Gemetar kutekan manik yang menyala, dan... sebuah hologram muncul di atas telapak tanganku, “Sudah sampai stasiun Tajur 5 Agung? Bapak sudah mengirim kendaraan untuk pulang.” Beberapa detik kemudian moda komunikasi itu pun lenyap. Tinggallah kutermangu, mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi. 

    Sebuah mobil supermodern berhenti tepat di depanku. Pintu depan terbuka seketika. Kulongokkan kepala ingin segera bertemu suamiku, namun tak ada siapa-siapa di dalam. Serta-merta kakiku mundur beberapa langkah. Namun tak berselang lama, bagai terhipnotis, aku mulai menaiki mobil unik tersebut. Pintu tertutup otomatis, dan mobil mulai melaju. 

    Ini pengendalian mobil secara otonom dari jarah jauh melalui teknologi canggih. Si Pemberi instruksi mengendalikan semuanya dari jauh. Dia dapat melihat pandangan dari kendaraan serta menyentuh dan memanipulasi kontrol seolah-olah berada di kursi pengemudi. Seperti dalam film Black Panther saja. Sampai di rumah nanti, banyak yang ingin kutanyakan.

***

    Bagaimana menurutmu kisahku ini? Terserahlah. Anggap saja kisahku ini sebaris fiksi dan ilusi yang aku cipta dalam kerinduanku pada wujud yang selalu ada dalam anganku, dalam dimensi waktu bersama khayalku, dalam lamunan tentang kota kelahiranku, dalam suguhan peradaban dan panorama alam yang indah lagi modern, dalam balutan budaya ketimuran yang kental 

TAMAT


Bogor, 5 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-26


Kidung Cinta 25

 Kugapai Surgaku yang Hilang

Oleh:  Venice Rahayu

https://nasional.tempo.co/read/716002/ada-kabut-asapburung-raptor-alami-disorientasi-bermigrasi

    Nguing..., nguing..., nguing..., tubuhku  berputar putar di angkasa dan..., bruuukkk!  Tubuhku terhempas di teras sebuah villa yang asri.  “Aww...!“  aku meringis kesakitan. Rupanya kakiku terluka.  Ada tetesan darah dari sela-sela sayapku.  Kaki dan tubuhku memar di sana-sini.

Antara sadar dan tidak, aku melihat seorang gadis kecil sebelas tahunan, mengenakan kaos putih dan celana jeans pendek dengan rambut berkuncir dua,  berlari-lari kecil sambil memegang sebotol minuman. Hampir saja ia menginjak tubuhku.  Serta-merta langkahnya terhenti saat melihat tubuhku yang penuh darah terkapar di teras villanya.

Astagfirullahaladziim...,” pekiknya,  “burung kecilku yang malang, apa gerangan yang telah menimpamu?  Kenapa engkau bisa terluka seperti ini?”  dengan gerakan bergegas, gadis kecil itu membawaku ke dalam istananya.  Waw..., indah sekali!  Lampu-lampu kristal telah mulai dinyalakan.  Aku direbahkan di atas bantal berbulu tebal berwarna violet.  Sesaat gadis itu menghilang, kemudian muncul kembali  dengan sekotak obat-obatan di tangan.  Menghilang kembali, dan kembali lagi dengan membawa mangkuk berisi air hangat.  Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, ia mulai membersihkan tubuhku, mengolesinya dengan obat luka, lantas membungkusnya dengan perban.  Selesai....  Setelah itu, entah berapa lama aku tertidur dalam kenyamanan.

Semilir udara yang teramat sejuk membelai tubuhku dan membangunkanku dari mimpi yang buruk...!

***

  “Asap...! Asap...! Asssaaap...!”  suasana hutan menjadi hiruk-pikuk. Kampungku dipenuhi asap! Asap di mana–mana! Seluruh penghuni hutan menjadi panik.  Semuanya mencari tempat yang aman.  Aku berusaha mencari dan memanggil-manggil ibuku.  Namun, asap yang begitu pekat telah mengaburkan pandanganku.  Suaraku pun tertelan oleh keributan yang luar biasa.   Aku terbang tak tentu arah.  Pernapasanku mulai sesak.  Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha mencapai langit yang lebih terang.

Kurasakan sayapku mulai lemas, napasku semakin pendek.  Entah sudah berapa lama aku mengepakkan sayapku.  Kuputuskan untuk menukik ke bawah,  dan..., bep!  Aku mendarat di....  Aku tak ingat lagi, aku tak sadarkan diri!

Truk-truk berjejer mengantri keluar dari kapal.  Perutku yang perih tak kuhiraukan.  Aku teronggok lemas di bak belakang salah satu truk yang sedang mengantri tersebut.  Untung, sewaktu terjatuh tadi tubuhku menimpa terpal bekas penutup truk.  Rupanya truk ini baru saja mengirim beras, karena di sana-sini terlihat ceceran beras.  Ah ya, aku harus makan dulu.  Belum tentu nanti aku dapat menemukan makanan.  Aku tidak boleh tidak peduli..., aku harus kuat!  Kupatuk butiran beras yang berserakan dengan sepenuh hati agar kembali mendapat kekuatan.

Truk yang kutumpangi mulai menjauhi dermaga.  Sepertinya aku baru saja  menyeberangi lautan.  Truk melaju kencang membawaku ke dunia baru yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.  Tubuhku terayun-ayun kencang.  Aku bersembunyi masuk lebih dalam berselimut terpal.  “Ibu...,”  lirihku pilu,  “di mana engkau, Ibu...?  Ya Allah, selamatkan Ibu dan saudara-saudaraku...!”  airmata menetes deras membasahi pipiku.

Udaranya begitu panas.  Tubuhku terasa terbakar.  Kuintip dari sela-sela terpal truk, terlihat tembok-tembok yang menjulang tinggi mencapai langit.  Kulongokkan kepalaku lebih tinggi lagi.  Manusia begitu banyak seperti dedaunan yang berserakan di kampungku.

Tiba-tiba truk yang kutumpangi berhenti di salah satu tempat pengisian bahan bakar.  Kesempatan ini aku gunakan untuk keluar dari persembunyianku.

Lama aku berputar-putar di angkasa mencari tempat yang kuinginkan.  Tempat yang sejuk yang bisa membuat napasku kembali normal.  Namun, setelah sekian lama, aku tak juga menemukannya.  Panas..., panas..., panas di mana-mana.   Apa yang telah  manusia perbuat di sini?

Tubuhku melesat lebih tinggi lagi.  Tapi tetap saja yang kulihat hanya tembok-tembok raksasa. Aku menjadi hilang keseimbangan.  Tubuhku limbung, terhempas dari tembok satu ke tembok lainnya.  Kepalaku terasa semakin pusing.  Lagi-lagi..., aku kembali terkapar tak sadarkan diri.

Tuhan tak henti-hentinya menolongku.  Aku menjadi malu pada-Nya.  Hamba-Mu ini kerap melupakan-Mu.  Dalam setiap kesenangan, sering aku lupa bersyukur, namun Engkau tak pernah lupa padaku, pada makhluk kecil yang papa ini.  Maafkan aku ya, Allah! 

Ketika siuman, hari menjelang sore.  Tuhan menyediakan sebuah busa empuk untuk tempatku terjatuh.  Busa-busa ini diangkut oleh sebuah mobil truk yang lebih kecil dari yang kutumpangi sebelumnya.  Aku yakin, ini sebuah keberuntungan yang telah diatur oleh Tuhan.  Banyak yang mengatakan bahwa keberuntungan tak akan datang berkali-kali, tetapi apa yang menimpaku benar-benar di luar keumuman.  Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar!

Sampai di sebuah kawasan, ah... sejuknya!  Kuhirup udara dalam-dalam.  Nikmat...!  Kabut tipis menyelimuti setiap ruang indah yang aku saksikan di sana. Mobil merangkak pelan.  Jalan berkelak-kelok dan mendaki.  Kukepakkan sayapku, aw... perih!  Kucoba sekali lagi, dan beerrr... aku terbang.  Semakin jauh..., semakin jauh...

****

Suara-suara itu begitu asing bagiku. Siapa mereka? Sedikit kupicingkan mataku.  “Subhanallah!”  Ada banyak kaumku di sini.  Dari berbagai jenis. Bergelantungan dalam sangkar emas yang begitu indah.  Ada sekitar duapuluhan sangkar berukuran berbeda.  Namun semuanya nampak indah dan serasi dengan keindahan alam di sekitarnya.  Sebuah panorama indah menghadap gunung dari sebuah halaman belakang yang luas..., sekali.

Dan, aku sendiri ditempatkan di salah satunya.  Hidangan lezat sudah tersedia di dalam sangkar emasku.  Lengkap dengan air minumku.  Aku kegirangan.  Cepat kukepakkan sayapku, namun... prak!  Tubuhku menabrak badan sangkar yang terbuat dari bambu.  Ah..., kebebasan yang semu!

Semua menertawakanku.

“Mau ke mana, Kawan?  Tinggallah di sini saja!  Kita bisa benyanyi tralala  trilili.  Nona Nizami sangat memanjakan kita.”  bujuk Beo mengingatkanku.

Aku teringat pada seorang gadis kecil sebelas tahunan yang telah menolongku kemarin petang.  Kulihat dia sedang bernyanyi dengan riangnya sambil menyirami bunga-bunga yang bermekaran di sekeliling kolam hias yang berada di tengah-tengah kebun.  Anak yang manis...!

Aku mencoba menyapa teman-temanku dengan senyuman. Tapi perih itu tetap menjalar dalam diriku.  Lebih perih daripada luka di sekujur tubuhku.  Pencarianku harus berakhir di kurungan. Aku tak bisa terbang bebas lagi.  Tuhanku, Allah SWT, menciptakan sesuatu bukan dengan kesia-siaan.  Tapi kini, tak ada lagiyang bisa kulakukan dengan sayapku.

“Ayolah, jangan murung terus seperti itu.  Terkadang hidup tak dapat memilih.”  seru Si Hitam mencoba mengingatkanku.     

“Benar.  Hidup kadang tak bisa memilih.  Daripada berlarut-larut memikirkan yang sudah terjadi, bukankah lebih baik kita memikirkan hal ke depan?”  tambah Si Putih.

“Ya, benar.  Yang sudah terjadi tak bisa diulang kembali.  Kita harus bahagia dalam setiap kesempatan.  Dan hanya diri kita yang bisa mengupayakan kebahagian kita sendiri.”  Beo menimpali.

“Tapi Kawan, haruskah kita diam dan menunggu nasib yang akan menimpa kita?  Tidak adakah yang bisa kita upayakan?  Kata ibuku, kesabaran itu tidaklah berarti selalu menerima apa yang menimpa kita tanpa berbuat apa-apa.”  kataku yang tiba-tiba saja dengan cepat merasa sangat akrab dengan mereka.

“Ya, ibuku juga dulu berkata begitu.  Nenekku juga mengatakan hal yang sama.  Jika kita tidak berupaya, Tuhan tidak akan mengubah nasib kita.  Pada dasarnya kami pun ingin terbang bebas.  Tapi masih mudahkah kita mendapatkan makanan di luar sana?  Salah-salah, kita malah sengsara.”  kali ini Murai yang berbicara.

“Betul..., betul..., betul...!”  kata semuanya.

“Sudah berbulan-bulan aku tinggal di sini.  Sekarang, aku sudah terbiasa hidup di dalam sangkar.  Kita syukuri saja nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita selama ini.  Di sini kita hidup serba mudah, koq!  Apa lagi yang kurang dari kebaikan Nona Nizami?”  kata Beo lagi.

“Betul..., betul..., betul...!  kata semuanya lagi.

Aku tercenung.  Apa yang dikatakan teman-temanku ada benarnya juga.  Tapi bayanganku tentang sebuah negeri yang indah dengan kebebasan yang nyata tetap menjadi cita-citaku.  Di sini, surga itu nyata terpampang.  Tinggal kebebasanku saja yang masih terbelenggu.  Nona Nizami memang baik, tapi itu saja belum cukup bagiku.  Lantas, apakah aku termasuk makhluk serakah?

“Tapi..., tapi...,”  kataku gagap.  

“Yah..., capek aku mendengar keluhan kamu!   Kamu ini keras kepala dan tidak tahu diri, ya!  Sebel deh aku sama kamu!”  Kenari yang dari tadi diam, kini ikut bicara.

“Bukan begitu kawan.  Tapi hidupku sebelum ini sungguh menakjubkan.  Hutan yang indah..., sejuk..., teman-teman yang banyak, semuanya hidup harmonis.  Hari-hariku selalu indah.  Ibuku mengajakku berjalan-jalan menyusuri tepian hutan.  Aneka makanan lezat tersedia di sana.  Tubuhku sehat dan kuat karenanya.  Aku menikmati karunia Allah jauh lebih banyak dari sekedar tinggal di sini.  Semuanya serba sempurna.  Hingga suatu saat..., kebakaran itu telah merenggut semuanya.”  kali ini aku tak kuasa menahan tangisku.  Dan untuk selanjutnya, dengan lancar kuceritakan tentang kisah hidupku.  Tak lupa tentang pengalamanku yang mengerikan di sebuah kota dengan ratusan tembok raksasa, dan panas yang membakar.  Diperkirakan, ini akibat terlalu banyaknya pohon yang ditebang.  Pasti masih banyak kota lain yang serupa di dunia ini.

“Mengharukan sekali ceritamu kawan. Semoga kamu bisa bersabar.  Ini ujian untukmu.  Setelah kesulitan pasti akan ada kebahagian.  Itu janji Tuhan kita.”  Jalak Putih mencoba berempati.

“Ah, ya betul.  Barangkali sekarang aku sudah lupa menggepakkan sayapku ini.”  Jalak Hitam bergumam sendiri sambil mencoba mengepak-mengepakkan sayapnya.  Ih..., lucu sekali!

Namun, tanpa disadari, tiba-tiba semuanya mengikuti jejak Si Hitam.  Masing-masing mencoba mengepakkan sayap mereka.  Gagal!  Semuanya kaku!  Akhirnya.... 

“Aku ingin BEBAS....!”  koor burung sangkar pun terdengarnya sangat meriah, sampai-sampai Nona Nizami melongokkan kepalanya dan tersenyum kepada kami.  Mungkin dikiranya kami sedang bernyanyi bersama.

“Jangan ngayal. Kebebasan mungkin bisa kita upayakan, tapi tak lama lagi lingkungan kita ini juga akan berubah menjadi villa-villa.  Aku menguping pembicaraan ayah Nona Nizami dengan beberapa rekan kerjanya tempo hari.  Jadi, hendak ke mana lagi kita mencari kebahagiaan.  Tak ada lagi tempat buat kita...!”  kata Beo cukup mengejutkan kami.

Hening melingkupi kami.  Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

“Kita harus mencegahnya.”  kata Murai membuyarkan lamunan kami. 

“Bagaimana bisa?   Bukankah manusia itu makhluk yang paling sempurna dan mempunyai akal yang paling tinggi?  Aku rasa kita tidak akan mampu melawan mereka.”  Kenari nampak berputus asa.

“Aku yakin kita bisa. Tuhan memberikan kelebihan pada setiap makhluknya.”  jawabku cepat.  

“Ya, benar. Aku mempunyai kelebihan bisa berbicara menirukan perkataan manusia.”  kata Beo sedikit angkuh.

“Tepat...!   Kaulah kuncinya.”

“Apa?  Kutahu..., kalian pasti punya rencana untuk memanfaatkan aku, ya?” katanya sambil mengerlingkan matanya kearah kami.  Lucu sekali.  Kami semua tertawa.

“Bukan memanfaatkan..., tapi bekerja sama, Beo!”  jawabku bijak.

“Bekerja sama apa?”

“Kalian pasti tahu, Nona Nizami sangat disayang oleh Tuan Hadian.  Segala permintaannya pasti akan diturut.  Bicaralah dengan Nona Nizami agar dia membujuk ayahnya menghentikan proyeknya tersebut!”  Si Putih menjeslaskan.

“Tapi aku sayang sama Nona Nizami.  Kita meminta terlalu banyak dari dia. Pertama, membujuk dia mengagalkan rencana ayahnya.  Setelah itu, kita juga meminta izin untuk kebebasan kita.  Apa tidak berlebihan?”  Beo agak keberatan.

Kami kembali terdiam.

“Kita minta yang pertama saja.  Jangan rusak hutan kita!  Setuju?”  usul Beo kemudian.  “Kebebasan kita biar Nona Nizami yang memutuskan.  Kita sudah banyak berhutang budi padanya.”

“Oke..., setuju!”  jawab kami serempak.

***

“Apakah kalian tidak senang hidup denganku?  Maafkan aku.” Nona Nizami membelai kami satu per satu.  “Aku sudah dapat menangkap keinginan kalian melalui celotehan-celotehan Beo kepadaku beberapa hari ini.  Jangan khawatir, ayah sudah membatalkan semua rencananya.  Alhamdulillah.  Terimakasih atas segala keterpahaman yang telah kalian ajarkan kepada kami.  Kini kami sadar.  Kami telah egois terhadap alam dan makhluk Allah lainnya.”  Sampai di sini, Nona Nizami berhenti berkata-kata.  Raut wajahnya menggambarkan kesedihan yang mendalam.

Kami semua terdiam. Masing-masing menahan napas. Kami berkonsentrasi untuk mendengarkan perkataan Nona Nizami selanjutnya.  

“Hari  ini juga aku akan melepas kalian ke alam bebas.  Semoga kalian berbahagia.”

Kami semua terhenyak mendengarnya.  Seakan tidak percaya.  Impian sudah di depan mata....

“Tapi satu pemintaanku.... Jangan pernah kalian melupakan aku!  Aku teramat mencintai kalian seperti saudaraku sendiri.”  air matanya bergulir di pipinya yang halus dan putih.

Hati kami teraduk-aduk antara sedih dan bahagia.  Sementara itu, Nona Nizami mulai membuka satu per satu pintu sangkar kami.  Dan..., BEBAS...!  Terima kasih Nona Nizami...!

***

Menjelang malam, setelah seharian menikmati kebebasanku, aku rindu Nona Nizami.  Kuputuskan untuk kembali ke sarangku, bermalam di sana.  Betapa terkejutnya aku, ternyata kawan-kawanku sudah lebih dulu berada di sana, di sangkarnya masing-masing, dengan pintu-pintu yang terbuka lebar.  

Kaget, tapi kemudian kami tertawa  terbahak-bahak bersama.  “Aku cinta kamu, Nona Nizami....!”  koor itu kembali menggema di belakang halaman sebuah villa yang sangat indah.  Milik Nona Nizami.

TAMAT


Bogor, 4 Juli 2022

Tantangan Menulis Om Jay Ke-25


Kidung Cinta 31

 Cinta Kedua Oleh:  Venice Rahayu https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220216092135-37-315720/kacau-penduduk-20-negara-ini-kecanduan-smartph...